Islamophobia Ternyata Jadi Bisnis yang Menggiurkan

Nathan Lean: Konsekuensi dari apa yang disebut “Perang Melawan Terorisme” adalah melahirkan premis “Musuh Luar Negeri, Ancaman Dalam Negeri”. Retorika Bush dan Obama sejauh ini menempatkan umat Islam di Amerika Serikat pada pengawasan khusus.

Kita bisa melihat begitu banyak diskriminasi keberagamaan yang semuanya itu atas nama keamanan nasional. NYPD bekerja sama dengan CIA untuk memata-matai komunitas Muslim di New York. Pada kasus lain, masjid diopinikan sebagai markas teroris. FBI membayar informan untuk menyusup ke dalam masjid dan menjebak Muslim.

Pada kasus di California, salah seorang informan bahkan diperintahkan untuk tidur dengan seorang Muslimah.

Kementerian Amerika bersama keimigrasian federal acap kali menunda atau menolak permohonan visa, paspor dan kewarganegaraan tanpa ada dasar sama sekali, kecuali hanya karena si pemohon memiliki nama atau berasal dari negara muslim.

Kongres Amerika juga menggelar “hearing” terhadap radikalisasi kasus McCarthy dengan komunitas Muslim, padahal tidak ada bukti keterkaitan mereka dalam kasus ini. Dan yang terbaru adalah Gedung Putih mengumumkan Program Konter Kekerasan & Ekstremisme, yang tidak lain diarahkan kepada komunitas Muslim Amerika.

Semua fakta ini semakin menguatkan asumsi bahwa Muslim adalah ancaman keamanan dan harus diawasi. Ini semakin menguatkan bahwa terorisme adalah masalah keagamaan yang unik, dan menjadikan Islam secara khusus sebagai pihak yang disalahkan. Saya ragu-ragu untuk menyebut ini semua sebagai “perang melawan Islam”, karena terorisme ini sudah menjadi semacam retorika sipil.

Ziabari: Orang-orang seperti Geert Wilders dan Pastor Terry Jones, yang secara terbuka menistakan Al Quran, juga media seperti Jyllands Posten dan Charlie Hebdo, menghina Nabi Muhammad melalui kartun, beralasan itu semua sebagai kebebasan berbicara. Apakah alasan kebebasan berbicara ini seimbang dengan apa yang diyakini oleh 1.6 miliar Muslim di seluruh dunia?

Related Articles

Latest Articles