“…jangan pernah menyerah
sudah terlalu lama kita terlelap
bangkit dan raih semua mimpi…”
-Dari Mata Sang Garuda, Pee Wee Gaskin-
Indonesia merupakan negara yang sangat besar. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dan segala potensi alam yang ada di dalamnya, merupakan sebuah penasbihan diri bahwa Indonesia merupakan surganya dunia. Dengan jumlah bahasa daerah yang lebih dari 746 bahasa, lebih dari 1.128 suku bangsa, dan dengan jumlah penduduknya yang lebih dari 230 juta, membuat negeri mempunyai banyak sekali warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dibalik indahnya negeri ini, tersimpan 1001 masalah yang tidak kunjung terselesaikan.
Baru-baru ini bangsa kita digegerkan dengan sebuah peraturan fenomenal yang akan mengubah kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika sebuah peraturan yang dibuat pada tahun 2010 oleh Kemendagri tentang Pemilukada, dan “pecah” ketika periode pemerintahan 2009-2014 mau berakhir, mebuat banyak polemik di negeri ini. Peraturan tersebut menyatakan bahwa gubernur akan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini mengubah peraturan yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004, yaitu ketika disahkannya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
Di sisi lain, ada sebuah berita yang cukup “aneh” namun bisa muncul dan menjadi perbincangan banyak orang. Berita yang penulis maksud adalah tentang salah seorang murid SD yang tugas rumahnya disalahkan oleh gurunya. Berita ini cukup berkembang di kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa dalam sebuah tugas perkalian seorang anak SD, nilai yang didapatnya kecil dikarenakan proses yang berbeda antara apa yang diajarkan guru dan diajarkan oleh kakak sang anak SD tersebut. Yang dipermasalahkan guru sang anak SD tersebut adalah jawaban dari pertanyaan 4+4+4+4+4+4 adalah 4×6, bukan 6×4 seperti apa yang diajarkan guru tersebut
Ketika membaca dua berita tersebut, ada pikiran yang terlintas dalam pikiran penulis. Bangsa ini sangat senang membahas masalah-masalah yang besar hingga kecil, namun tidak membahas masalah pokok yang tejadi di masyarakat kita. Masyarakat lebih senang membahas berita yang dibesar-besarkan media, daripada melihat sekitar dan bergerak untuk menyelesaikan masalah yang ada disana.
Percuma ketika kita berteriak-teriak mana yang lebih baik antara pilkada langsung atau tidak langsung, ketika kita tidak membicarakan bagaimana menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada anak-anak yang sekarang telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Percuma ketika kita membahas bahwa anggaran dapat kita hemat dengan pilkada tidak langsung, padahal pada sektor lain anggaran kita bocor. Percuma kita berkoar-koar tentang kedaulatan rakyat yang dirampas dengan pilkada tidak langsung, padahal masih banyak sekali kecurangan dan keanehan yang tidak masuk akal ketika kita melaksanakan pilkada langsung
Percuma kita membahas mana yang benar antara dua proses yang berbeda namun menghasilkan hasil yang sama, namun sadar bahwa perdebatan tak berujung ini bisa membawa kita menuju perpecahan karena saling bersitegang. Percuma kita membicarakan kurikulum yang membatasi kreatifitas para pelajar, ketika masih banyak anak-anak negeri di pelosok sana yang masih belum bisa mengenyam pendidikan, atau bahkan anak-anak jalanan di sekitar kita
Yang mau penulis sampaikan disini adalah kita harus memikirkan sebuah masalah secara komprehensif. Ibarat dua sisi mata uang, masalah kita tidak hanya bisa diselesaikan hanya dengan melihatnya dari satu sisi, namun kita harus melihatnya dari dua sisi, tiga sisi, atau bahkan banyak sisi. Walaupun banyak masalah bangsa ini sangatlah banyak, janganlah kita melihatnya dengan mata tertutup. Bangunlah dan buka mata kita dengan keadaan di sekitar kita, dan segera cari solusi dari semua masalah dengan melihatnya dari berbagai sisi. Dengan begitu, penulis yakin bahwa bangsa ini akan bangkit dan meraih semua mimpinya.
“…Aku ingin kamu bisa
menghadapi segalanya
memang berat dan tak mudah
tapi kami akan selalu ada…”
-Ayo Indonesia Bisa, Sherina feat Ello-
Penulis: Muhammad Fadhil, Mahasiswa Institut Teknologi Bandung