SuaraJakarta.co, OPINI – Pelabelan situs Islam radikal oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan diakhiri dengan pemblokiran media-media Islam oleh Kementerian Komunikasi Infomatika (Kemkominfo) adalah bentuk dari deislamisasi bukan bentuk penangkalan radikalisme. Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam dari mu’amalah. Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana, terarah, dan berkesinambungan (Suryanegara, 2011).
BNPT dan Kemkominfo pada awalnya tidak memberitahu kepada publik terkait indikator-indikator apa saja yang dipakai untuk melabelkan media-media Islam yang dapat dikatakan radikal. Sementara BNPT baru memberikan kriteria situs radikalisme setelah protes besar-besaran yang dilakukan oleh umat Muslim Indonesia. Jelas hal yang dilakukan oleh BNPT adalah bentuk kecerobohan tanpa melibatkan pihak-pihak lain untuk diminatai pendapat.
Kebijakan yang dilakukan oleh BNPT dan Kemkominfo jelas adalah kebijakan sepihak dan terlihat tergesa-gesa. Seharusnya ada mekanisme dialog terlebih dahulu antara media-media Islam bersama BNPT dan Kemkominfo. Seharusnya juga sebelum memblokir BNPT dan Kemkominfo perlu melibatkan Kementerian Agama (Kemenag) dan para ulama Indonesia untuk meminta pendapat. Hal yang dilakukan oleh BNPT dan Kemkomifo jelas merupakan pemasungan kebebasan pers dan bentuk deislamisasi. BNPT dan Kemkominfo seolah memukul rata media-media Islam tersebut dengan mengatakan bahwa mereka adalah media radikal tanpa melakukan audiensi terlebih dahulu. Tindakan ini tentu sudah masuk kedalam katagori deislamisasi, karena telah berupaya meminggirkan dan memasung aspirasi yang dilakukan umat Muslim Indonesia.
Perlu diketahui, banyak media Islam yang diblokir tidak terbukti masuk kedalam kriteria radikalisme yang disampaikan oleh BNPT. Kita ambil contoh Dakwatuna dan Hidayatullah. Kedua media Islam ini semenjak pertama kali didiran sampai sekarang tidak pernah memuat berita untuk mendukung radikalisme Islam seperti ISIS. Media-media Islam tersebut juga tidak pernah melakukan takfiri kepada kelompok lain. Sekarang pertanyaannya, mengapa mereka yang tidak masuk dalam kriteria radikalisme turut diblokir? Disini jelas semakin memperkuat bahwa terindikasi adanya deislamisasi yang dilakukan oleh BNPT dan Kemkominfo.
Alasan BNPT mengeluarkan Surat Keputusan, Nomor: 149/K.BNPT/3/5/2015 tentang situs/website radikal, juga tidak akan sah dan tidak masuk akal, jika media-media Islam tersebut telah membuktikan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa mereka tidak masuk kedalam kriteria radikalisme yang disampaikan oleh BNPT. Kalau tuduhan BNPT dan Kemkominfo ini terbukti bersalah, maka yang sebenarnya melakukan tindakan kesalahan adalah kedua lembaga Negara ini, bukan media-media Islam, karena BNPT dan Kemkominfo telah melanggar Undang (UU) Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Media-media Islam berhak menuntut balik mereka yang telah menyebarkan fitnah.
Penulis melihat selain ada deislamisasi yang dilakukan BNPT dan Kemkominfo kepada media-media Islam, juga ada faktor lain mengapa BNPT dan Kemkominfo melabelkan serta memblokir media-media Islam. Faktor lain tersebut antara lain:
Pertama, karena media-media Islam sangat kritis dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak pro rakyat. Sebagai acuan mari kita lihat kutipan perkataan dari Kepala Humas dan Pusat Informasi BNPT, Irfan Idirs. “Media Islam yang dianggap radikal, bukan hanya karena memuat tentang ISIS, tetapi juga konten berita yang menjelek-jelekan Negara, atau Jokowi bla bla bla”. Kalau pemerintah tidak mau dikritik, berarti pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang otoriter seperti layaknya rezim Orde Baru atau Negara-negara komunis seperti China dan Korea Utara yang melakukan one-way communication kepada rakyatnya. Ini adalah sistem demokrasi, dan demokrasi memberika ruang kebebasan kepada rakyatnya untuk beraspirasi.
Kedua, karena media-media Islam menjadi garda terdepan dalam menangkal ajaran sesat Syiah. Syiah ini sudah sesat menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), seharusnya seluruh pihak termasuk dari BNPT dan Kemkominfo mendukung langkah-lanhkah dari media Islam untuk menangkal ajaran sesat Syiah yang notabene tidak jauh radikal dari ISIS. Jangan sampai BNPT dan Kemkominfo didesak oleh pihak-pihak terkait untuk melindungi kelompok minoritas yang jelas-jelas sudah dilabelkan sesat oleh MUI, bahkan radikal menurut para ulama Indonesia.
Ketiga, karena media-media Islam telah menyita perhatian banyak masyarakat Indonesia, dan mampu bersaing dengan media-media sekuler yang tidak pro terhadap Islam. Banyak masyarakat Indonesia sekarang lebih mempercayai media-media Islam ketibang media-media sekuler dalam segi pemberitaan.
Pemerintah melalui BNPT dan Kemkominfo harus melakukan dua hal yang amat penting jika media-media Islam tersebut tidak terbukti bersalah. Pertama, Kemkominfo harus membuka blokir yang sudah dilakukan kepada media-media Islam. Kedua, BNPT dan Kemkominfo harus meminta maaf kepada seluruh umat muslim Indonesia, bahwa tindakan yang dilakukan adalah bentuk kecerobohan semata. Sungguh, tindakan yang dilakukan oleh BNPT dan Kemkominfo sangat menyakiti seluruh rakyat Indonesia, khususnya umat muslim.
Penulis: Pandu Wibowo, Ketua Komisi A FSLDK Banten/ Peneliti Junior CIDES Indonesia