Oleh: Bambang Prayitno
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku ‘tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
(Lagu “Hymne Guru” Karya Sartono)
Hari ini kita memperingati Hari Guru Nasional. Hari peringatan yang muasalnya dari peringatan Hari Persatuan Guru Republik Indonesia ini sudah berlangsung seremoni-nya selama 70 tahun, dimulai sejak tiga bulan setelah Republik ini merdeka. Peringatan Hari Guru Nasional ini memang menjadi semacam prasasti ikrar para guru republik belia pada saat itu untuk bersatu dalam sebuah organisasi -melewati prosesi sebuah Kongres Nasional-, setelah sebelumnya, sejak 1912, organisasi guru nasional berdiri bersamaan dengan beberapa organisasi guru lingkup kecil yang lain
Awal deklarasi dan ikrar berdirinya-pun penuh dengan suasana dramatis; lokasi di sekitar Kongres mereka sedang dalam suasana perang karena Belanda masih tidak ikhlas melihat Indonesia merdeka; bom terus berjatuhan di sekitar gedung tempat mereka membacakan ikrar; dan pekik merdeka terdengar di dalam ruangan beratus-ratus kali. Saya membayangkan suasana pada saat itu saja langsung menahan napas antara kagum, bangga, takut dan campur aduk perasaan lainnya
Kata “guru” sendiri sebenarnya bukan kata orisinil yang berasal dari kosa-kata Melayu. Kata “Guru” berasal dari bahasa Sansakerta, salah satu bahasa yang menjadi sumber terbesar absorbsi bahasa Melayu. Arti “Guru” dalam bahasa asalnya adalah “berat” atau “tinggi pengetahuannya” atau “simpul”. Mengandung arti “amanah yang berat, memiliki pengetahuan luar biasa dan orang yang ditempa jiwanya serta menjadi penghulu dari kebijaksanaan hidup”
Asal kata “Guru” juga tidak bisa dilepaskan dari dunia kehidupan spiritual India, tempat bahasa Sansakerta berkembang. “Guru” dalam spiritualisme India -yang menjadi tempat berkembang ajaran Hindu, Sikh dan Buddha- adalah seorang shalih yang mengalami tempaan jiwa di atas manusia biasa, dan mereka mendapatkan ilham tentang pengetahuan, kehidupan dan kebijaksanaan lalu mengajarkan ke banyak murid untuk mengikuti jejak Sang Guru dengan berbagai ritual agar mengalami peningkatan kesadaran dan memiliki kesucian jiwa. Dalam ketiga ajaran tersebut, guru dipandang sebagai pemimpin suci yang memberi kebijakan dan pedoman kehidupan
Dalam dunia sufisme, “Guru” adalah sebuah gerbang awal untuk membuka tirai keghaiban jiwa. Dalam ajaran sufisme Islam, Hindu atau lelaku kebathinan, menemukan guru sejati seringkali menjadi syarat mutlak bagi orang yang ingin mencapai pencerahan. “Guru” dalam bahasa sufisme Islam mungkin bisa disepadankan dengan “Mursyid”. Mursyid berasal dari akar kata “rassyada” yang artinya mengajar. Arti lain “Mursyid” adalah penunjuk jalan atau pemimpin kafilah. Arti lugasnya, Mursyid itu semacam manusia yang bertugas untuk membimbing murid agar mampu menggunakan akal fikirannya secara tepat, sehingga ia mencapai keinsyafan dan kesadaran tentang hakekat sesuatu atau mencapai kedewasaaan berfikir atau mengikuti jalan yang lurus
“Guru” kemudian mengalami perkembangan pengertian dalam bahasa yang lain. Kata “guru” di adopsi dalam bahasa Inggris dengan kata yang sama; “guru”. Jadi kalau ada orang bule yang berbicara dengan kita dan mengatakan; “You are my guru”, itu sebenarnya bentuk ungkapan-apresiatif dan penghormatan yang luar biasa. Bahwa orang tersebut menghormati kita karena kebijaksanaan, kearifan dan pandangan kita yang menginspirasi dan mencerahkan atau pengetahuan-pengatahuan kita tentang dunia yang memuliakan manusia
Kata “Guru” sendiri memiliki padanan kata yang kurang lebih dalam bahasa yang lain. Seperti “Teacher” dalam bahasa Inggris yang artinya “orang yang mengajarkan ilmu”. Atau “Ustad” dalam bahasa Persia, yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Arab; “Ustadz”. Saya mencari padanan arti dan makna “Ustadz” dalam Kamus Bahasa Arab, dan ternyata arti Ustadz itu ada beberapa; ia seorang pengajar; atau orang yang ahli dalam suatu bidang dan mengajarkan pada yang lain; atau julukan akademis level tinggi di universitas. Tradisinya, kalau ada seorang sarjana yang merupakan lulusan Universitas Islam dan mempunyai kearifan ilmu yang dipelajarinya, maka kita bisa memanggilnya Ustadz.
Dalam banyak bahasa dunia, kata “Guru” memiliki padanan kata yang artinya kurang lebih; bahwa ia adalah orang yang bertugas mengajarkan ilmu pengetahuan. Begitu juga status sosial seorang guru dalam kehidupan masyarakat-masyarakat di dunia, guru mendapatkan tempat terhormat dan suci. Dalam strata masyarakat Hindu, karena semua anggota masyarakatnya adalah pelaku olah kebathinan, maka Guru (spiritual) mendapatkan tempat paling mulia dalam kelas sosialnya. Guru dianggap sebagai orang yang mengajarkan Dewa dan manusia tentang kehidupan. Ia masuk dalam Kasta Brahmana, kasta paling tinggi dalam kelas sosial masyarakat Hindu
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kuno-pun, Guru mendapatkan tempat terhormat. Masyarakat Eropa pada era awal, menganggap Guru adalah orang yang layak memberi nasihat kepada raja atau memberikan solusi atas masalah masyarakatnya. Guru dalam dunia pra-modern hingga sekarang dianggap sebagai pemberi inspirasi dan penggerak perubahan sebuah negara.
Di berbagai negara, banyak guru yang memberikan inspirasi perubahan dan tercatat dalam simpul-simpul sejarah besar. Bahkan di Indonesia saja, semua sejarah revolusi dan kemerdekaan justru digerakkan oleh guru. Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Jendral Nasution, Jendral Soedirman adalah contoh sedikit bahwa guru-lah yang merubah sejarah bangsa bernama Indonesia. Kalau mau telaten membaca sejarah lebih lama lagi, maka kekaguman kita pada guru di Indonesia akan bertambah-tambah
Tradisi menempatkan Guru dalam posisi terhormat itu diwariskan oleh Rasulullah dan Kekhalifahan Islam. Dalam sejarah kehidupannya, Rasulullah pernah mengganti hukuman mati musuh Islam dan menggantinya dengan memerintahkan si terhukum untuk mengajari para sahabat membaca dan menulis. Bagitu juga dalam sejarah khalifah di rentang 1300 tahun ini, Islam memuliakan para Guru dan menjadikan posisi ini dalam tingkat tertinggi penghormatan
Tradisi pemuliaan dan penghormatan guru dalam era modern pun berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Di Amerika, seluruh murid akan memberikan buah karya, puisi atau menyanyikan lagu dan lain sebagainya dalam Pekan Apresiasi Guru di minggu pertama bulan Mei. Di Cina pun seperti itu. Setiap tanggal 10 September, anak-anak murid di tiap sekolah membuat pra karya lukisan dan kartu ucapan kepada Guru dan memberikannya saat awal pelajaran sekolah. Bahkan di Korea, telah berlangsung tradisi mengharukan yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun untuk menghormati guru. Para murid di negara tersebut memberikan sekuntum atau sekeranjang anyelir; bunga paling indah di negara tersebut
Tapi, terlepas dari tradisi dan seremoni penghormatan atas jasa-jasa guru, di beberapa negara, rupanya berlaku masalah yang sama terkait guru. Tanggal 30 Juli yang lalu saya sempat menonton film “Little Big Master”, sebuah film drama box office yang dibintangi Louis Koo dan Miriam Yeung yang mengisahkan tentang perjuangan dan pengorbanan seorang Guru TK di sebuah desa pinggiran kota di Cina.
Film yang terinspirasi dari kisah nyata puluhan tahun lalu ini menggambarkan tentang banyak hal yang terjadi di Cina puluhan tahun lalu; bahwa anggaran pemerintah untuk fasilitas pendidikan ternyata begitu minim, bahwa gaji dan kesejahteraan ternyata tetap menjadi isu yang tak pernah selesai dan tuntas; bahwa guru itu ternyata memberikan bagian terbaik dari kehidupannya untuk murid-muridnya; dan banyak nilai lain yang kita dapatkan lantas kita mengatakan spontan; “mengharukan ya filmnya. Mungkin Cina di zaman sekarang sudah enak. Tidak seperti negaraku, nasib guru masih susah”
Sehari yang lalu saya membaca tentang perbandingan gaji dan tunjangan guru dari berbagai negara di Asia Tenggara. Di Malaysia, negara memberikan gaji guru seminimalnya di kisaran 3,6 juta rupiah untuk guru TK atau honor. Tapi, jika dirata-ratakan dengan seluruh guru dari berbagai tingkatan, gaji guru di sana sebesar 22,4 juta rupiah. Brunei Darussalam malah lebih rata-ratanya; di kisaran 24,2 juta rupiah. Filipina yang masuk dalam kategori negara dengan penghasilan kecil bisa memberi gaji gurunya sebesar 10,3 juta rupiah. Sedangkan Singapura yang masuk dalam negara berpenghasilan tinggi, memberi gaji guru-guru di negara tersebut sebesar 57,7 juta rupiah. Nah, di Indonesia, yang konon sudah 20% Anggaran Pendidikannya, ternyata hanya memberikan gaji gurunya di 3 juta rupiah. Atau sekitar 5 sampai 6 juta rupiah kalau guru tersebut mengurus sertifikasi guru
Hal lain lagi, ini yang dikeluhkan banyak guru di negara kita. Soal sertifikasi guru yang terlalu sulit prosesnya dan butuh antrian panjang untuk mendapatkan sertifikasi. Syarat sertifikasi guru-pun luar biasa menyita jam mengajar guru. Guru yang mau mendapatkan sertifikasi harus memenuhi jam pelajaran yang menjadi syarat utama sertifikasi, disamping kemampuan dan kecakapan pelajaran yang diajarkan. Bayangkan saja, sepekan tanpa hari istirahat, mereka harus pontang-panting ke beberapa sekolah hanya untuk memenuhi syarat sertifikasi yang ujung-ujungnya ketika saya tanya, jawabannya menyesakkan dada saya; “supaya asap dapur ngepul”
Isu soal kesejahteraan guru dan prasyarat pemenuhannya ini bukan isu main-main. Saya banyak sekali membaca peristiwa kehidupan ganda guru yang menyesakkan luar biasa disebabkan karena malasnya pemerintah memberikan fasilitas gaji dan tunjangan memadai. Guru sambil ngojek, guru sambil berprofesi jadi pemungut sampah, guru sambil les privat, guru sambil menjadi penggembala, guru sambil menjadi petani, adalah berita-berita yang lama-lama terdengar lumrah karena seringnya kita mendengar cerita sejenis
Isu lain berkaitan dengan guru adalah soal kompetensi, kurikulum dan metode pengajaran. Filsafat ilmu dan metode pengajaran sepertinya harus menjadi materi utama pendidikan profesi guru. Akhir-akhir ini saya banyak membaca perilaku guru yang diluar kebiasaan dalam memperlakukan murid, entah itu dalam soal hukuman atau dalam proses belajar mengajar. Saya kebetulan membaca buku “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia” karya Munif Chatib. Dalam buku yang terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis dalam mendirikan sekolah alternatif, saat menjadi konsultan pendidikan dan merumuskan teori pengajaran gaya baru tersebut, saya mendapati nilai-nilai luar biasa dari penulis.
Beberapa hal itu, seperti kata Munif, adalah; bahwa guru dimanapun posisinya wajib untuk paham dan menguasai ilmu keguruan dan kependidikan, wajib memiliki kompetensi; bahwa kita mesti memposisikan tiap-tiap individu siswa ajar kita sebagai manusia yang senantiasa tumbuh dan berkembang sesuai dengan bawaannya sehingga membutuhkan sekali lagi perbedaan pendekatan dalam mengajarnya; bahwa murid kita bukan robot yang bisa di remote oleh kita para gurunya; bahwa menumbuhkan kreatifitas dan rasa ingin tahu itu baik dalam proses belajar; bahwa gaya belajar setiap murid itu berbeda, jangan dipaksa untuk seragam; bahwa semua murid itu cerdas dan memiliki keunikan masing-masing, dan tugas guru adalah melipatgandakan potensi si murid; bahwa murid adalah pusat dari aktivitas proses belajar mengajar, bukan guru; dan banyak nilai luar biasa (baru) yang lain
Sudah ah, saya kira cerita soal guru cukup di sini untuk sekarang. Terlepas dari masalah yang di hadapi guru, saya hari ini ingin mengucapkan dengan hati tulus saya untuk semua guru; “Selamat Hari Guru. Engkau adalah Pahlawan (yang wajib diberi) Tanda Jasa (oleh Pemerintah dan seluruh muridmu)”
Jakarta, 25 November 2015