Oleh: Dwi Hartanto
“Aku tundukan kepala yang sedalam-dalamnya untuk para Martir, pejuang Pro-demokrasi, pejuang anti kediktatoran Orba baik yang dikenal maupun yang sama sekali tidak dikenal oleh publik, yang dengan gagah berani telah dan pernah menyumbangkan miliknya, bahkan nyawanya untuk Orang banyak…. Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat, Moses Gatot Kaca, Yun Hap, Iqbal, Temu, Munir, Marsinah dan ribuan nama-nama Angkatan muda lainya yang gugur dalam perjuangan disekitar Mei 98’….” (Mengenang Mei 1998).
Konteks Latar Belakang Peristiwa Mei 98′
KALAU kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, khususnya di kota Jakarta pada bulan Mei 1998, tentunya konteks peristiwa ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja seolah berdiri sendiri dari berbagai peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang menjadi setting dan latar belakang pra-kondisinya. Penting bagi kita untuk sedikit melihat konteks kebelakang, pada waktu sebelum pecahnya gerakan mei 98 itu sendiri.
Melihat bagaimana gambaran situasi dan dinamika gerakan rakyat dan mahasiswa antara tahun 1996 dan tahun 1997, yang begitu dinamis dan bergolak semangat penentangan-nya terhadap rezim Soeharto kala itu, serta bagaimana melihat konteks narasi alur sejarah itu berlangsung. Tentunya hal seperti ini masih sangat jarang dilihat oleh banyak kalangan pembaca yang mainstream di Indonesia, utamanya generasi muda yang mungkin tidak mengalami dan bersentuhan secara langsung dengan peristiwa Mei ’98 itu.
Setelah peristiwa berdarah 27 Juli 1996, yaitu peristiwa penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro, perlawanan Rakyat dan Mahasiswa terhadap Rejim Soeharto berikut pilar-pilar yang menyangga kekuasaannya semakin berkobar. Situasi Pasca 27 Juli, gerakan rakyat mengalami masa-masa mencekam, dimana terjadi ‘crackdown’ (pukulan keras) terhadap gerakan pro demokrasi saat itu. Selain PRD, organisasi-organisasi pro-demokrasi lainya juga mengalami tekanan dan intimidasi seperti Pijar, KIPP, Aldera, PUDI, SBSI, YLBHI, dan basis-basis PDI Mega, juga turut dibungkam.