SuaraJakarta.co, OPINI – Tahun 2007 silam terbit sebuah buku berjudul 10 Penguasa Terkorup Dunia karya Yuanda Zara dan kawan-kawan terbitan Pustaka Timur. Buku tersebut memuat 10 nama pemimpin besar dunia serta rekam jejak Korupsinya mulai dari Soeharto Presiden Indonesia sampai dengan Joseph Estrada Presiden Filipina yang memenangi pemilu pada tahun 1998.
Data tersebut didasarkan pada program Stolen Asset Recovery Initiative (STAR Initiative) suatu program kerja sama antara PBB dengan Bank Dunia dalam rangka menyelusuri dana haram yang dikeruk oleh para pemompin korup dari negaranya sendiri. Indonesia menempati urutan pertama sayangnya untuk hal korupsi. Hal-hal penting yang patut kita simak dalam buku tersebut adalah: pertama, petuah Lord Acton sejarawan Inggris yang mendunia terkait hubungan korupsi dengan kekuasaan. Kedua: adakah kesamaan pola diantara tokoh-tokoh koruptor dunia tersebut? Ketiga : kondisi khusus korupsi Indonesia.
Petuah Lord Acton dan Pola Umum Korupsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna petuah dapat diartikan diantaranya nasihat orang berilmu, keputusan, pendapat bahkan sampai fatwa. Lord Acton sejarawan kondang Inggris pernah menitipkan pesan, nasihat, fatwa atau petuahnya untuk penduduk dunia terkait hubungan korupsi dengan kekuasaan. Ia mengatakan “Power tends to corrupt. Absolute Power corrupt absolutely”. Suatu rangkaian kalimat yang sering masyarakat dengar pasca korupsi dijadikan sebagai extraordinary crime, terlebih lagi Busyro Muqqodas salah seorang yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial pernah mengatakan “status korupsi di Indonesia yang dijadikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime perlu ditingkatkan menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban”. Kalimat Lord Acton tadi seolah memberikan isyarat kepada penduduk dunia bahwa ada kaitan erat antara kekuasaan dengan kecenderungan untuk korupsi dan bahkan Ia katakana kekuasaan yang Mutlak cenderung akan melakukan Korupsi yang mutlak pula.
Serangkaian kisah nyata rekam jejak para pemimpin dunia yang dianggap 10 besar dalam kasus korupsi tersebut seolah membuktikan pernyataan seorang sejarawan Inggris yang lahir pada 10 januari 1834 yang silam. Yang menarik kita dalami adalah, factor-faktor yang melingkupi terjadinya korupsi yang begitu masif tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, kekuasaan mutlak sang pemimpin. kedua, kekuatan pendukung lainnya seperti Militer, daya pencitraan, serta koalisi yang menihilkan oposisi. Ketiga, kongsi dengan konglemerat hitam. Inilah beberapa hal umum yang memungkinkan terjadinya korupsi secara massif oleh tangan penguasa.
Mari kita dalami sekilas terkait faktor-faktor tersebut dan kombinasinya terhadap korupsi para pemimpin korup tersebut. Sebut saja Soeharto yang berada pada posisi wahid, dalam buku tersebut didapatkan terjadi kombinasi antara kekuasaan, kekuatan militer dan kongsi dengan konglemerat hitam. Soeharto naik ke atas panggung politik dan kekuasaan tertinggi di Indonesia pasca polemik tahun 1965 dan runtuhnya rezim Soekarno. Ia berlatar belakang militer yang secara pasti mendapatkan dukungan militer dalam roda pemerintahannya. Sejarah mencatat beliau sebagai pemimpin dengan gaya tangan besi dan non-kompromi untuk beberapa hal yang dianggap prinsip olehnya. Sejarah juga mencatat kasus perselingkuhannya dengan para konglomerasi hitam dalam mengeruk harta kekayaan negaranya, sebut saja Sudono Salim, Liem Sioe Liong, The kian Seng, dan hari Moerdani (anak LB Murdani). Modusnya adalah dengan cara monopoli perdagangan sumber daya alam, kamuflase lembaga social serta hak perizinan.
Contoh lain yang unik adalah Jose Arnoldo Aleman Lacayo seorang Presiden Nikaragua tahun 1997 sampai 2002 silam. Hal unik terjadi karena kita sama-sama pernah mengenal sebuah dictum “mana ada pencuri yang mau mengaku!”. Hal ini terjadi pada dirinya, karena pada masa akhir jabatannya ia mengaku bersalah dihadapan publik atas kejahatan menumpuk harta dengan jalan haram. Kombinasi yang terjadi pada kasus Aleman adalah kekuasaan, pencitraan politik dan koalisi busuk dengan kelompok oposisi yang berdampak pada tidak adanya penyeimbang pemerintahan. Aleman memiliki lika-liku kehidupan yang tidak mudah sebelum Ia terjun ke kancah politik. Tahun 1996 Ia menghabiskan waktu untuk kampanye diseluruh antero Nikaragua. Ia terkenal dikalangan public dengan slogannya “Obras, no palabras!,” artinya “Bekerja, bukan banyak berbicara!” sebagai upaya pencitraan politiknya. Hal yang paling krusial adalah ketika Ia merekrut kelompok Oposisi Sandinista ke dalam pemerintahannya yang mengakibatkan tidak ada penyeimbang. Pada akhir persidangan, Aleman didapati telah mengeruk dana haram sebanyak 100 Juta dolar AS.
Demikian, cuplikan contoh pemimpin dunia korup yang merugikan negaranya. Faktor-faktor kekuasaan mutlak sang pemimpin, kekuatan pendukung lainnya (Militer, daya pencitraan, serta koalisi yang menihilkan oposisi), kongsi dengan konglemerat hitam. Inilah beberapa pola umum yang memungkinkan terjadinya korupsi secara massif oleh tangan penguasa.
Ahok dan kuasa media
Ahok atau pemilik nama Basuki Tjahya Purnama merupakan salah satu cermin pemimpin yang berpotensi memiliki kekuasaan mutlak. Pasalnya, gaya kepemimpinan yang keras kepala untuk sulit menerima masukan pihak lain serta skema nepotisme terselubung dalam lelang jabatan yang sejatinya menempatkan orang-orang pilihannya dalam lingkar kekuasannya, disinyalir mampu melahirkan hegemoni kekuasaan yang mutlak dalam roda pemerintahan DKI Jakarta.
Kondisi ini didukung oleh kuasa media sebagai tirani baru iklim demokrasi Indonesia. Dikatakan baru karena memang baru benar-benar terjadi pasca angin segar reformasi berhembus. Pada negara yang sudah lebih dulu menikmati demokrasi Liberal, kuasa media sudah lebih dulu menjadi salah satu senjata pamungkas setelah hulu ledak. Dengan jentikan jari jurnalis provokator mampu membuat perang dua negara damai. Lisan culas politisi yang sedikit di make up akan tampil menjadi petuah mulia seorang ahli hikmah. Kuasa media yang dianggap menjadi pilar demokrasi yang ke sekian menjadi keruh setelah tangan-tangan penguasa mulai merambah industry informasi. Dalam konteks langit media Jakarta, anda akan sangat sulit mendapatkan berita miring terkait ahok dari media mainstream. Ini adalah masa dimana pena mulai tumpul, hidung pelaku media tak lagi tajam mengendus sengsara rakyat serta hati pelaku media yang tergadaikan oleh “jale” suatu istilah perkara bahasan media yang mengandung Rupiah. Tentu tidak semua pelaku media.
Menilik sejarah masa lampau terkait pemimpin terkorup dunia, maka kondisi ini memiliki kecenderungan masuk pada pola umum penyalahgunaan kekuasaan sesuai petuah Lord Acton tadi. Kekuasaan mutlak, faktor pendukung berupa Kuasa media, matinya gerakan oposisi dan terbukanya kesempatan kongsi dengan konglemerat hitam. Ahok berada pusaran kondisi yang dapat membahayakan dirinya apabila gaya politiknya melulu menggunakan Kuasa Media sebagai juru bicara pemerintahannya. Karena dengan kondisi ini beragam stigmatisasi dituduhkan kepada para oposan yang berupaya mengawal pemerintahnnya. Baru-baru ini muncul tuduhan bahwa yang tak membela Ahok dalam kasus kisruh Anggaran APBD dengan pihak DPRD adalah kelompok pro-koruptor. Hal kegilaan semacam ini terus berulang ditayangkan dalam media cetak maupun sosial. Hal ini memiliki potensi mati surinya iklim oposisi kepada pemerintahan Ahok yang pada akhirnya terbuka peluang untuk masuk pada klausa “Power tends to corrupt”. Terlebih lagi Ahok adalah symbol kuasa penentu anggaran bertindak sebagai pemimpin tertinggi dalam badan eksekutif DKI Jakarta. Jelas ada Anggaran triliunan di sana yang mesti membuat air liur pengusaha hitam memancar.
Kondisi ini harus disadari oleh masyarakat, bahwa untuk menjaga uang rakyat serta anggaran yang tepat guna bukan dengan cara tangan besi semu, nepotisme terselubung, dan tameng kuasa media. Namun, dengan mengajak masyarakat komunikasi dengan jelas dan jujur, memberikan kesempatan pengawalan masyarakat serta prinsip kehati-hatian berkongsi dengan pihak lain. Semoga petuah Lord Acton tidak terjadi pada Ahok, semoga. [***]
Penulis: Muhamad Hadi Kusumah S.Pd, Presidium Pemuda Djayakarta dan Ketua Umum BEM UNJ 2010