Gemasaba: Reklamasi Bukan Untuk Masyarakat Jakarta

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan memutuskan untuk melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sempat dihentikan oleh Menteri sebelumnya, Rizal Ramli. Hal ini memunculkan banyak pertentangan dari Kelompok Masyarakat Betawi (Bamus), Nelayan, LSM dan juga kalangan mahasiswa dan aktivis lingkungan.

Dalam diskusi rutin yang diselenggarakan Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (GEMASABA) dengan tema “Reklamasi Teluk Jakarta Untuk Kepentingan Siapa?” Ketua Umum GEMASABA Heru Widodo menentang dan menolak kembali dilanjutkannya proyek reklamasi Pulau G, “Saya atas nama Gemasaba menentang dilanjutkannya proyek Reklamasi Pulau G Teluk Jakarta, karena tidak jelas proyek ini untuk kepentingan siapa, yang pasti bukan untuk kepentingan warga Jakarta” ujarnya di Jakarta (16/09/2016).

Heru menjelaskan bahwa keberadaan proyek reklamasi ini akan menimbulkan permasalahan dan bencana dikemudian hari. Dengan dilanjutkannya proyek reklamasi tersebut, dapat berdampak pada terganggunya mata pencaharian nelayan pesisir Jakarta. Nelayan menjadi sulit mencari ikan dan pendapatan menjadi menurun. “Masyarakat nelayan akan jadi korban utama, mereka sulit menangkap ikan dan mata pencaharian mereka akan terganggu” ujar Heru.

Dalam diskusi tersebut, Heru menegaskan bahwa proyek reklamasi Pulau G teluk Jakarta bukanlah untuk kepentingan masyarakat Jakarta, tetapi adalah murni untuk kepentingan bisnis dan mengambil keuntungan dari para pemodal. Hal ini bukan tanpa dasar, mengingat proyek tersebut bernilai triliyunan rupiah. “Proyek tersebut bukan untuk kepentingan masyarakat jakarta, tapi adalah murni kepentingan bisnis untuk meraup keuntungan dari para pemodal” ujarnya.

Berdasarkan hasil kajian LAPI-ITB reklamasi Pantura Jakarta tahap I (Pantai Mutiara) diketahui telah mengubah infrastruktur outlet sistem air pendingin PLTU/PLTGU Muara Karang yang mengakibatkan meningkatnya suhu air di intake kanal pembangkit dari kondisi awal 29°C menjadi 31,1°C.

Diperkirakan bila terjadi kenaikan suhu setiap 10 celcius, bisa mengakibatkan menurunnya kemampuan produksi listrik hingga 10 MW dengan nilai kerugian berkisar Rp. 576 juta per hari untuk setiap 1 unit mesin pembangkit. Dampak lainnya, terjadinya sedimentasi pada muara Sungai Angke dan Sungai Karang yang tertutup oleh pulau-pulau reklamasi sehingga secara konstruksi bisa menganggu utilitas PLTU/PLTGU Muara Karang. Pasokan gas dan BBM ke PLTU/PLTGU Muara Karang juga berpotensi terganggu mengingat posisi pipa gas dan BBM berada pada kawasan yang akan direklamasi

Reklamasi tersebut akan mengganggu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang yang berkapasitas 1.684 megawatt (MW). Selain Muara Karang, di daerah tersebut juga berdiri PLTU Priok dan PLTGU Muara Tawar yang ketiganya menjadi pemasok 53% kebutuhan listrik di Jakarta dan sekitarnya.

Heru mempertanyakan lantaran pemerintah tidak mempublikasikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan hasil analisa BAPPENAS dari berbagai aspek yang telah dilakukan “hal ini perlu untuk dipublikasikan agar dapat dinilai oleh masyarakat”. Ujar Heru

Related Articles

Latest Articles