Oleh: Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Alumni KAMMI
SuaraJakarta.co, OPINI – Selama ini, jika berhubungan dengan kesulitan likuiditas, perbankan akan memanfaatkan Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk mengatasinya . Selain itu, perbankan akan bersandar kepada Bank Sentral (Baca Bank Indonesia) sebagai Lender of Last Resort ( LLR ) untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Namun dimasa pandemi ini, pemerintah menambahkan satu kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat sumber likuiditas bagi perbankan.
Setelah keluarnya PP 23/ 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional, kita mengenal suatu mekanisme baru dalam menangani kesulitan likuiditas Perbankan. PP ini memperkenalkan model Anchor Bank atau Bank Jangkar dalam penanganan kesulitan likuiditas Perbankan. Untuk mendukung restrukturisasi debitur korporasi diperbankan, pemerintah mengalokasikan Rp 34 Triliun dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan.
Uniknya, model ini tidak menghilangkan fungsi LLR Bank Indonesia. Model ini menambahkan varian sumber pembiayaan likuiditas bagi perbankan. Mekanisme kerjanya adalah dengan menempatkan dana pemerintah disejumlah bank yang memenuhi persyaratan PP 23/2020, yang disebut sebagai Bank Peserta, yang kemudian dapat pula dipinjamkan kepada bank-bank yang disebut sebagai Bank Pelaksana. Bank Pelaksana ini sendiri adalah bank-bank yang melakukan restrukturisasi dan mengalami kesulitan likuiditas.
Penempatan dana ini tidak gratis. Melainkan diwajibkan bagi Bank Peserta untuk mengembalikan pokoknya berikut bunga yang telah ditetapkan.
Beleid pemerintah ini rupanya direspon beragam oleh industri perbankan. Ada dua kritik yang dilontarkan. Kritik pertama adalah mekanisme ini dianggap rumit dan membebani perbankan, khususnya yang menjadi Bank Peserta. Kerumitannya terletak pada mekanisme dua lapis dimana bagi Bank Peserta, selain harus menangani problem internal mereka sendiri, masih juga dibebani untuk “ cawe-cawe” dengan persoalan bank lain, yaitu Bank Pelaksana. Bagi perbankan, fungsi “ cawe-cawe “ ini seharusnya merupakan fungsi OJK.
Kritik kedua bersumber pada kerumitan dan beban tambahan yang mesti ditanggung perbankan yang menyebabkan beleid ini menjadi sulit untuk diimplementasikan ditingkat teknis. Alasannya, di antaranya karena hubungan antara Bank Peserta ( Bank Jangkar ) dengan Bank Pelaksana yang membutuhkan likuiditas bersifat “bisnis ke bisnis” maka akan sulit untuk memitigasi resiko masing-masing individu bank berikut profile debiturnya. Selain itu juga, suku bunga yang kemungkinan mahal dan makin mempersulit bank yang sedang mengalami tekanan likuiditas.
Penulis sendiri beranggapan bahwa Model Bank Jangkar (Anchor Bank) ini sebagai model optimal untuk menjaga sisi akuntabilitas dan aspek prudensial dari skema “bantuan likuiditas” pemerintah terhadap perbankan. Dengan beberapa alasan.
Pertama, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, skema “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan justru menambah pilihan sumber likuiditas bagi perbankan, selain yang sudah disediakan oleh BI sebagai LLR. Mau tidak mau perbankan akan berhadapan dengan peningkatan Non Performing Loans ( NPLs) dimasa krisis ini. Karena itu, restrukturisasi terhadap debitur sudah pasti akan dilakukan oleh perbankan untuk mengatasi situasi ini.
Disinilah terletak arti penting dari keberadaan beleid ini. Proses restrukturisasi itu sendiri akan menimbulkan tekanan likuiditas bagi perbankan. Beleid ini menjamin ketersediaan sumber likuiditas yang diperlukan perbankan.
Kedua, “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah secara inheren mengandung potensi “moral hazard” dan resiko hukum yang tidak ringan. Sisi yang selama ini telah menjadi sumber persoalan berkepanjangan dalam setiap tindakan intervensi likuiditas kepada perbankan.
Menempatkan dana pada bank yang berkualifikasi merupakan cara untuk memitigasi resikonya. Apalagi, bank- bank yang akan menggunakan fasilitas ini adalah bank-bank yang tidak lagi memiliki aset yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dan hanya mengandalkan kualitas aset kreditnya sebagai jaminan.
Bagaimana mitigasi resiko itu terjadi?. Resiko terberat dari bantuan likuiditas terletak pada kemampuan bank untuk mengembalikan dana pemerintah. Selain itu, juga untuk memastikan konsistensi pada tujuan pemberian bantuan itu sendiri. Yaitu, dukungan dalam pelaksanaan restrukturisasi terhadap debitur perbankan, dalam hal ini, debitur korporasi.
Dapat dibayangkan, apabila pemerintah melakukan kebijakan intervensi langsung terhadap perbankan yang beragam dan berjumlah banyak itu tanpa memiliki mekanisme untuk memastikan tingkat kesehatan perbankan. Itu hanya akan mengulangi kekeliruan seperti yang terjadi pada Bank Century, suatu bank yang memang sangat tidak sehat jauh sebelum terjadinya krisis.
Dengan menerapkan model Bank Jangkar, resiko- resiko diatas bisa diminimalisir. Bank Jangkar akan berfungsi sebagai palang pintu efektif bagi upaya tidak sehat dari bank-bank yang memanfaatkan fasilitas ini bukan pada tujuan yang seharusnya. Dalam hal ini, kita bisa memetik pelajaran pada apa yang terjadi di masa BLBI dulu.
Ketiga, saya tidak yakin ada bank yang menolak menjadi bank Jangkar. Kalaupun ada, pasti bank-bank lain, terutama Bank BUMN, akan memilih menjadi Bank Peserta. Penempatan dana pemerintah ini merupakan berkah bagi bank-bank yang menjadi Bank Peserta. Selain memperkuat struktur neracanya, suku bunganya pun dipastikan tidak akan memberatkan perbankan. Apalagi dimasa sulit seperti ini.
Baru-baru ini saja kita membaca kalau Bank Rakyat Indonesia ( BRI ) memperoleh pinjaman senilai US$1 Miliar dengan suku bunga 2% dari beberapa institusi keuangan asing. Tentunya, pinjaman ini adalah suntikan likuiditas baru bagi BRI dan akan memperkuat neraca BRI dimasa krisis ini.
Keempat, beleid ini bukan merupakan beleid untuk menangani bank-bank yang mengalami insolvensi. Adapun bank yang mengalami insolvensi telah memiliki mekanisme penangan an tersendiri yang berada diluar kewenangan langsung pemerintah.
Ringkasnya, penempatan dana pemerintah melalui mekanisme bank Jangkar, dalam hemat penulis, bukanlah pengambil alihan fungsi Lender of Last Resort BI, melainkan menjadi suplemen tambahan bagi ketahanan sistem perbankan. Dan bagi Bank Peserta, karena juga telah memperoleh manfaat besar, patutlah juga melakukan upaya tambahan untuk menjaga amanah publik yang terkandung didalam dana yang ditempatkan itu. Dan karena itu, tidak akan “overlap” dengan fungsi pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan ( OJK).
Tinggallah dua hal yang mesti ditindak lanjuti oleh pemerintah sebagai buah dari dua kritik sebelumnya. Pertama, 15 bank beraset paling besar itu tidak serta merta dapat dijadikan sebagai Bank Peserta. Sekalipun itu adalah salah satu syarat didalam PP 23/2020. Menteri Keuangan dan OJK hendaknya memastikan bahwa bank yang akan menjadi peserta itu memang sehat dan dapat melalui stress test dalam menghadapi krisis. Ini syarat yang tidak terdapat didalam PP 23/2020, tapi vital dalam memastikan kelaikan bank tersebut.
Selain itu, karakteristik dan profile dari bank yang akan menjadi Bank Peserta juga penting untuk diperhatikan. Bank itu selayaknya memiliki profile sebagai bank yang systemically important bank ( bank yang memiliki karakteristik sistemik ) dalam pengertian positif. Bank ini pada dasarnya sudah memiliki sifat sebagai “ bank jangkar” dalam hubungan antar bank, seperti dalam pasar uang antar bank (PUAB). Dan juga dalam profile debiturnya, mencerminkan keragaman yang menunjukkan bahwa bank itu memang merupakan bank Jangkar.
Dan yang tidak kalah pentingnya. Penentuan bank menjadi Bank Peserta harus objektif dan menghindari preferensi politik. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan kemungkinan “conflict of interest” pemilik bank. Sedikit saja ini tercium oleh publik, akan merugikan tujuan baik dari kebijakan ini. Apa yang terjadi pada Program Kartu Prakerja yang bertujuan baik dan mulia, namun terbebani oleh kontroversi program pelatihannya bisa jadi pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan. Wallahu ‘alam…