SuaraJakarta.co, ACEH – Gabungan Lembaga Kemanusiaan Se-Asia Tenggara yang menamakan diri South East Asia Humanitarian (SEAHUM) Committe menyarankan kepada Pemerintah Daerah yang saat ini menampung Pengungsi Rohingya dan Bangladesh agar keduanya tidak ditempatkan dalam satu penampungan yang sama . Pasalnya, menurut hasil investigasi SEAHUM di 4 penampungan sementara di Aceh Timur, Aceh Tamiang, Langsa, dan Medan, orang-orang Bangladesh yang ditampung bersama Pengungsi Rohingya sempat membuat kerusuhan selama di atas perahu, yang membahayakan jiwa anak-anak dan perempuan Rohingya.
Menurut penuturan beberapa pengungsi Rohingya yang dijumpai oleh tim Advokasi SEAHUM di empat penampungan sementara tersebut, kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh orang-orang Bangladesh yang mengamuk karena mereka meminta air minum yang ada pada Rohingya. Sementara, di atas perahu tersebut minuman yang tersedia hanya tersisa sedikit untuk anak-anak. Penyaring air laut pun yang sedianya dapat digunakan untuk menghasilkan air minum rusak dan tak bisa lagi digunakan. Tak pelak, kondisi ini membuat orang-orang Bangladesh yang berada dalam perahu tersebut mengamuk. Anak-anak rohingya dibunuh dan dibuang ke laut, perempuan-perempuan Rohingya pun mengalami pelecehan seksual. Tidak hanya itu, mereka mencoba membocorkan perahu dengan tujuan agar tidak ada yang selamat satupun, ungkap beberapa pengungsi Rohingya yang bercerita kepada Tim Advokasi SEAHUM.
Kejadian di perahu antara Rohingya dengan Bangladesh tersebut sangat mengerikan. Sangat berisiko apabila mereka tetap dibiarkan tinggal bersama dalam satu tempat. Misalnya, di penampungan sementara Aceh Tamiang, ada seorang Rohingya yang ditempatkan satu atap dengan seorang Bangladesh yang telah membunuh kedua adiknya saat kerusuhan terjadi di atas perahu.
“Kalau mereka (Rohingya dan Bangladesh-red) dibiarkan tinggal bersama bisa dimungkinkan terjadi aksi balas-membalas di tempat penampungan”, ungkap Imam Rulyawan selaku Presiden SEAHUM.
Kondisi ini menurut Imam sangat mengkhawatirkan. Apalagi kalau mereka akan tinggal dalam waktu yang lama, akan sangat rawan dan tentunya amat sangat berbahaya bagi keamanan semua pihak di tempat tersebut. Seperti memelihara api dalam sekam, kerusuhan antara Rohingya dengan orang-orang Bangladesh di atas perahu bisa berlanjut dan meledak sewaktu-waktu apabila mereka tetap dibiarkan tinggal bersama dalam tempat yang sama, ujar Imam.
Heri Aryanto, Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center yang juga koordinator Advokasi SEAHUM menambahkan bahwa kerusuhan yang pernah terjadi di Rudenim Belawan Medan antara Pengungsi Rohingya dengan Nelayan Myanmar pada bulan April 2013 sangat mungkin terjadi kembali antara pengungsi Rohingya dengan Bangladesh di penampungan sementara. Trauma di atas perahu yang dialami Rohingya dan orang Bangladesh bisa menjadi pemicu munculnya kerusuhan antara keduanya. Terlebih, perkelahian antara mereka mulai terjadi di penampungan misalnya ketika berebut makanan, ujarnya.
Menurut Heri semua pihak harus tanggap dengan potensi-potensi kerusuhan yang mungkin terjadi di penampungan antara pengungsi Rohingya dengan Bangladesh. Tidak ada salahnya diantisipasi sejak awal, untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan bangsa Indonesia.
“Pemisahan penampungan dimana pengungsi Rohingya di Desa Kuala Cangkoy Aceh Utara sementara orang Bangladesh di kantor Imigrasi Lhokseumawe, bisa dijadikan contoh”, pungkas Heri. (HA).