Oleh Husni Mutaqin (Kontributor RZMagz)
SuaraJakarta.co, FILANTROPI – “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhannmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Rabb masyrik dan maghrib, tiada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung,” (QS Al Muzzammil 1-9).
Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ummul Mukmin Aisyah ra bahwa Allah telah mewajibkan qiyamullail kepada Rasulullah saw di awal surat ini. Beliau dan para sahabat telah menegakkannya dengan penuh kesungguhan di sebagian malam sehingga kaki-kaki mereka bengkak karenanya. Setelah genap dua belas bulan, Allah memberikan keringanan dengan diturunkannya ayat kedua puluh dari surat ini pula yang berbunyi, “Sesungguhnya Rabb-mu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan daro orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an,” Maka berubahlah hukum qiyamu lail yang tadinya wajib menjadi satu ibadah yang sunnah.
Surat Al Muzammil turun pada marhalah bina’ (fase awal pembinaan umat). Marhalah penggemblengan ruh. Para sahabat yang merupakan calon dai dan mujahid, digembleng dengan muatan pembinaan yang berat. Selama satu tahun mereka harus bangun di tiap tengah malam untuk berdiri shalat berjam-jam. Mereka dituntut untuk taat, tunduk, patuh dan berpegang teguh pada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kewajiban qiyamullail bukanlah sekadar berdiri shalat berjam-jam. Tetapi ia merupakan tarbiyah imaniyah (pendidikan keimanan). Tarbiyah untuk selalu berhubungan dengan Yang Maha Pencipta, untuk bermunajat kepada-Nya. Ia merupakan wasilah (sarana) untuk mendekatkan diri, berdzikir dan bertawakkal kepada-Nya.
“Sebutlah nama Rabb-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan, (Dialah) Rabb masyriq dan maghrib, tiada Rabb melainkan Dia. Maka ambillah Dia sebagai pelindung,” (QS. Al Muzammil: 8-9)
Sungguh!! Berdzikir kepada Allah, taat, tunduk dan patuh kepada-Nya, bertawakkal dan beribadah hanya kepada-Nya, merupakan senjata yang sangat ampuh di medan perjuangan dakwah yang penuh dengan rintangan dan cobaan. Semuanya akan menjadikan para calon dai dan mujahid terbiasa untuk bersabar atas cobaan yang datang secara beruntun. Mereka akan terbiasa menanggung derita dan konsisten dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran. Ini semua merupakan satu-satunya senjata pada marhalah bina’. Marhalah yang belum diizinkan bagi mereka untuk menghadapi kaum kafirin secara langsung. Inilah pesan Allah kepada mereka, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik:. (QS. Al Muzammil : 10).
Sungguh seorang dai atau mujahid yang diatas pundaknya terbebankan panji-panji dakwah, pasti akan mendapati cobaan, siksaan dan intimidasi, dan tentu sangat membutuhkan senjata untuk mengukuhkan jiwa mereka. Dan jika Rasulullah saw tidak menggembleng generasinya dengan gemblengan Al Muzammil, tentu mereka akan berjatuhan di tengah jalan ketika mereka dihadapkan pada cobaan dan intimidasi.
Generasi Al Muzammil harus dibina dibawah konsep Qur’ani, yakni bagaimana mereka berinteraksi secara lebih jauh dengan Al-Qur’an. Interaksi dengan Al-Qur’an secara mendalam dapat dilakukan dengan cara tilawah (membaca), tahfizh (menghapal) dan tadabbur (melakukan pengkajian).
Perlu diingat makna qiyamul lail tidak akan pernah terealisir selama calon dai atau mujahid tidak memenuhi pikirannya dengan hafalan ayat-ayat Al Qur’an. Bagaimana ia akan merasakan nikmatnya bermunajat, sedangkan pikirannya hampa dari ayat-ayat Al Qur’an? Bagaimana ia akan merasa khusyu’? Sungguh !! betapa nikmat, tatkala kaki berdiri tegak untuk memulai munajat, hati tergerak disinari ayat-ayat Ilahi, yang kemudian dibiaskan ke dalam penglihatan, pendengaran, jiwa dan kehidupan.
Untuk menghasilkan generasi Al Muzammil yang tangguh, para sahabat Rasulullah saw telah mencontohkan, pada umur sangat muda mereka sudah hafal sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an. Inilah yang akan menjadi bekal mereka. Dengan bekal ini, mereka akan bisa mereguk nikmatnya bermunajat, qiyamul lail dan bertaqorrub kepada-Nya.
Potret generasi Al Muzammil adalah seorang pemuda yang telah melewati masa pubertas nya dengan kecintaan pada ibadah, ketaatan , dan taqorrub kepada-Nya. Pemuda yang selalu bertilawah dengan tartil, yang setiap malam air mata mengucur deras dari pelupuk matanya. Mentadabburi ayat-ayat-Nya. Pemuda yang Al Qur’an terukir pada hati dan pikirannya.
Khusus mengenai qiyamul lail, banyak kendala yang akan dihadapi bagi mereka yang akan melaksanakannya. Pengalaman ini pernah dialami oleh seseorang yang kemudian menyanyakan kepada Hasan, “Hai Abu Sa’id, sesungguhnya saya melewati malam dengan kondisi segar bugar, saya juga telah menyediakan air untuk berwudhu. Tapi mengapa saya sulit bangun?” Jawab Hasan, “Dosa-dosamulah yang telah mengekangmu.”