Oleh: Bambang Prayitno
Hadapi Takdir Kepahlawanan Kita
Masih nasihat Andi Rahmat. Yang kesembilan, diktator itu tak mengenal ideologi. Diktator berhubungan dengan struktur berpikir masyarakatnya. Kalau kita hanya menjadi medioker dan tak mau bersikap kritis, maka pemimpin kita akan menjadi diktator, karena ia menganggap jabatan yang ia pegang kebal atas segala kritik. Tapi kalau kita mulai pintar dan berani mengkritik, meminta keterbukaan dan sebagainya, maka pemimpin kita tidak akan berani main-main dengan amanahnya. Musuh diktator adalah pendidikan. Anak-anak muda harus terus dididik untuk menjadi kritis dan merdeka. Ini sangat penting.
Yang kesepuluh. Milikilah jiwa-jiwa penakluk. Rasulullah berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya. Rasulullah berperang lebih banyak dibandingkan nabi. Ada beberapa nabi yang sejarah hidupnya diisi dengan berperang. Tapi tidak sebanyak Rasulullah Muhammad. Al-Qur’an mengajarkan kita tentang penaklukan. Menguasai dan memimpin peradaban. Tapi sikap jiwa kita sepertinya belum sampai kesana. Jiwa aktivis kita kebanyakan jiwa yang tak suka dengan pertarungan. Inginnya shalih dalam kesendirian. Merasa damai dengan aktivitasnya sendiri saja.
Yang kesebelas, jadilah diri sendiri. Jangan jadi orang lain. Jangan gampang ikut-ikutan orang lain. Kalau tak bisa menjadi diri sendiri, maka forget to be a leader. Menjadi diri sendiri berarti memilih. Kita memilih menjadi orang besar. Kita memilih menjadi pemimpin. Kita memilih berjalan di depan dalam seluruh peristiwa dan perubahan. Kalau ada 100 ribu anak muda yang punya kesadaran yang sama untuk memimpin, maka mereka akan taklukan Indonesia.
Yang keduabelas, sejarah dan peradaban lahir karena pertikaian dan perbedaan. Lahir karena peperangan. Kalau orang-orang besar berperang maka lahirlah peradaban. Kalau orang besar dan orang biasa berperang, maka lahirlah pelajaran penting. Tapi kalau orang-orang biasa berperang, yang ada cuma kriminalitas. Tak apa-apa kita berperang dengan orang-orang biasa-biasa, dalam rangka memberikan pelajaran.
Yang ketigabelas, perubahan ini memerlukan pemimpin. Anak-anak muda kuncinya. Anak-anak muda yang menikmati takdir kepahlawanannya. Anak-anak muda yang mampu melihat masa depan dengan jelas dan mau bekerjasama menciptakan perubahan. Itulah orang-orang hebat. Dan kepentingan kita adalah menciptakan orang-orang hebat tersebut.
Saat jam menunjukkan pukul sembilan lebih, bang Fahri datang. Perjalanannya agak lama, karena sopir yang membawanya nyasar ke kampung lain. Kami tertawa mendengarnya. Sambil menikmati suguhan makanan, Fahri menambahkan cerita tentang beberapa hal yang menarik.
Cerita pertama, bahwa karena kita hidup di Indonesia, maka kita harus menerima situasi Indonesia dengan seluruh hal yang dimilikinya. Hukum-hukum negara dan sebagainya kita junjung sebagai bagian dari cara kita menikmati kehidupan berbangsa bersama dengan anak bangsa yang lain. Jangan sampai kita punya pikiran seperti beberapa pendahulu aktivis Islam yang sampai hari ini masih punya masalah dengan negara; dengan simbolnya, dengan semboyannya, hukumnya dan yang lainnya.
Yang kedua, karena kita hidup dengan suasana yang sangat heterogen dan sangat plural, maka bersikaplah moderat. Jangan bersikap ekstrim dan memandang yang lain yang mungkin tidak sesuai dengan nilai Islam yang kita yakini, dengan pandangan asing. Apalagi sampai merasa ingin menjauhi dan menghindari interaksi. Yang ketiga, takdir sejarah ummat Islam kebanyakan seperti itu. Musuh kita selalu saja diri kita sendiri. Kemiskinan, pendangkalan aqidah, dan sebagainya. Kita belum beranjak menjadi pemimpin perubahan karena jebakan-jebakan permasalahan kita itu-itu saja.
Yang keempat, kita selalu beranggapan bahwa jika tidak ada perbedaan, maka itu situasi benar. Kita menganggap homogenitas itu kemutlakan. Padahal itu tidak benar. Sejarah kita diisi oleh perbedaan-perbedaan. Agama dan keyakinan memang tidak berubah ribuan tahun. Tapi cara orang memandang dan dan mengkonstruksi keyakinan dan menerapkannya pada dunia dan zaman yang baru lah yang berbeda. Dan itu perlu kedalaman pengetahuan untuk memahaminya.
Yang kelima, kita sering menggunakan kekuasaan untuk merubah keadaan atau memaksakan kekuasaan untuk menekan orang. Anak-anak muda sebaiknya menghindari tradisi itu. Itu tradisi yang harus kita hapuskan. Sebab, Rasul saja, ketika ditawari kekuasaan dan harta, ia lebih memilih pengetahuan. Ia memilih jalan dakwah dan pendidikan. Ia mengajak orang pada kebaikan dengan dakwah dan cinta. Bukan kekuasaan atau tangan besi.
Yang keenam, yang kita lakukan sekarang ini adalah melawan privilege oligarki yang sengaja diciptakan yang tidak lagi sesuai dengan nafas zaman kita. Kita adalah orang-orang yang tekun yang mau bekerja di tengah-tengah orang dan mengajak mereka pada satu visi peradaban yang terang. Tapi, ada orang-orang yang menganggap kedudukannya yanh ia dapat, membawa juga sekalian seluruh privilege dan perlakuan khusus dalam partai. Ada struktur yang memiliki otoritas yang tidak melihat kenyataan lalu berlaku semenanya. Membuat keputusan sepihak dan lain sebagainya.
Mari kita anggap, orang-orang yang memiliki kedudukan itu sebagai orang-orang yang biasa saja. Yang kalau kita kritik, kita merasa tidak akan “kuwalat” atau hidup kita bakal sial. Karena keyakinan seperti itu; keyakinan akan nasib sial kalau kita mengkritik orangtua, bisa menjatuhkan kita dalam kesyirikan. Harusnya, organisasi itu dikendalikan oleh sistem yang diatur dan disepakati bersama, bukan menisbatkan akhir keputusan pada keistimewaan dan privilege petingginya.
Untuk menggambarkan cerita tentang struktur yang memiliki otoritas tapi tidak melihat kenyataan lalu berlaku semenanya, Andi dan Fahri sempat bercerita tentang sejarah masa lalu mereka berdua saat mereka di UI dan KAMMI.
Terakhir, kami bergeser cerita pada narasi besar; apakah gerakan Islam sebaiknya menduplikasi Turki atau Tunisia. Sebab, hari ini, ada tiga model gerakan Islam politik yang menjadi contoh menarik; Mesir, Turki atau Tunisia. Kalau kita belajar dari Mesir; mereka berkuasa hanya sebelas bulan, lalu digilas oleh kekuatan militer dan rezim yang berkuasa. Kalau Turki; anak-anak muda yang progresif membuat kendaraan politik baru yang lebih mampu diterima gagasan dan pikirannya di tengah rakyat. Sedangkan Tunisia; anak-anak muda memberikan saham pikiran baru dalam tubuh kekuatan partai politik Islam dan merubah wajah politik Islam, dengan merubah dasar, tampilan dan prioritas kerja partai; dari Islam menjadi muslim moderat; dari mimpi dan jargon menjadi kerja kerakyatan.
Saat ditanya oleh Fahri, kalau ada partai baru, Andi mau jadi apa, Andi menjawab dengan tertawa; “saya mau jadi bendahara aja. Enak, bisa atur-atur”. Kami semua tertawa. Candaan penutup yang luar biasa. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Kami semua berpisah dan pulang dengan membawa cerita masing-masing. Tak lama lagi, setelah gulita ini, saat-saat fajar akan menyingsing. Mari kita hadapi takdir kepahlawanan kita dengan bahagia.