Andi Rahmat: Bersikaplah Alumni KAMMI (Bagian 1)

Oleh: Bambang Prayitno

Jangan Jadi Medioker

Kemarin sore (18/6) saya dan kawan-kawan ke rumah bang Andi Rahmat di Pamulang, Tangerang Selatan. Beliau adalah senior saya di organisasi mahasiswa Islam. Beliau mantan anggota DPR RI yang sekarang lebih enjoy menekuni dunia usaha. Dagang, istilah yang ia pakai. By the way, kalau Andi Rahmat membaca tulisan ini dan dia tahu dia dipanggil ‘beliau’ oleh saya, mungkin dia akan tertawa. Hahaha.

Demi menghormati dan memenuhi undangannya, saya datang bersama kawan-kawan saya dari Jakarta. Perjalanan ke rumahnya menempuh waktu satu jam lebih. Padahal sudah lewat tol. Tangerang Selatan sekarang lagi macet-macetnya. Tapi bukan Tangerang saja yang macet, sih. Jakarta juga macet. Apalagi musim puasa dan menjelang berbuka. Ujian kesabaran paling puncak dari seluruh rangkaian ujian sehari. Hahaha.

Rumah Andi Rahmat agak sulit jalannya. Meliuk-liuk dan patah. Perlu keahlian ekstra untuk sampai kesana. Tapi mungkin disitu nikmatnya. Kami hampir tidak yakin akan sampai ke rumahnya sebelum acara buka bersama dimulai. Karena, disamping macet, jaraknya masih jauh saat itu. Tapi, memang takdir Allah luar biasa. Kami datang tepat ketika buka bersama baru dimulai. Maksudnya, pas ketika orang sedang memulai makan.

Saat adzan Maghrib, saya datangi bang Andi. “Eh, bang, ente ga pernah pulang ke kampung ?”, tanyanya dengan wajah yang bahagia. Saya jawab bahwa saya pulang kampung beberapa kali. Kampung kami memang bersebelahan. Lalu setelah ngobrol beberapa hal, kami break dulu untuk sholat Maghrib bersama seluruh yang hadir. Setelah shalat Maghrib usai dan acara makan berat dimulai, kami mendengarkan cerita bang Andi. Tentang KAMMI, alumni, anak-anak muda, masa depan dan peradaban.

Dari beberapa cerita Andi, ada beberapa yang kita catat. Yang pertama, kata bang Andi, sejarah yang kita baca itu hanya berkisah tentang kisah sedikit orang. Dan dalam orang yang sedikit itu, yang diceritakan hanya orang-orang yang menang dalam pertarungan. Sejarah hanya ditulis oleh orang-orang yang menang. Maka, niatkan dalam diri kita, untuk menjadi orang-orang yang memenangkan pertarungan panjang di lembar sejarah.

Yang kedua, anak muda itu harus punya karakter. Pikiran dan jiwanya merdeka. Punya sikap dan pendirian. Terang bersikap jika dihadapkan pada masalah. Tidak membebek. Janganlah menjadi medioker. Medioker itu ciri-cirinya banyak; orangnya yes men, takut menghadapi manusia, asal atasan senang, menelikung kawan seiring, tukang lapor dan menjilat untuk mendapatkan posisi, hanya ikut arus, serta gamang dan ragu.

Kita mesti bebas dan merdeka berpikir. Bagaimana sikap dan respon kita terhadap kejadian tertentu boleh berbeda. Tapi pikiran kita tidak boleh dibelenggu. Kita boleh merasa sedikit takut untuk mengungkapkan seluruh isi pikiran dan sikap kita karena represi yang luar biasa. Yang penting kita punya sikap. Kita boleh menyembunyikan sikap kita, karena mungkin daya tahan masing-masing orang berbeda. Tapi yang penting punya sikap. Jangan tidak punya sikap.

Dalam amatan Andi, beberapa orang yang ia kenal di masa muda selalu menjadi medioker, setelah bebera tahun bertemu lagi, karakternya ya seperti itu-itu saja; tidak jelas, cenderung pengecut, tidak bisa menjadi pemimpin besar. Ada yang beruntung menduduki jabatan publik, tapi kerdil jiwanya. Makanya ia memberi nasihat; rawat dan pupuklah jiwa kita. Menjadi jiwa yang merdeka, yang utuh, yang kuat, yang yakin menghadapi kehidupan. Karena sekali salah memupuk jiwa, maka akan salah selamanya.

Andi menceritakan, kenapa pemilihan presiden di Amerika berkualitas. Andi bercerita, bahwa ia bertemu dengan anak muda yang menggembel di sebuah negara bagian. Mungkin kelihatannya tak punya uang. Tapi, saat Obama menang, ia berteriak dengan girang. Saat Andi tanya kenapa dia bersikap seperti itu, anak muda itu menjawab bahwa ia mendedikasikan uangnya untuk Obama. Ia menyumbang 100 dollar. Karena Obama memiliki visi seperti yang diinginkannya. Intinya, banyak yang punya karakter dan sikap.

Yang ketiga, tenanglah menghadapi masalah. Apalagi cuma masalah dunia. Gesekan itu biasa saja. Andi menceritakan pengalamannya sewaktu ia berselisih saat ia menjadi imam sholat dan ada masalah khilafiyah dalam tata cara sholatnya. Lalu ia dikritik oleh jama’ah. Saat menghadapi kritik itu, ia kemudian mengadukan masalahnya ke almarhum Ustadz Rahmat Abdullah. Lalu almarhum memberi nasihat. Nasihatnya sederhana. Dunia itu sempit, siapa yang bertikai tentang dunia, pasti akan mengalami gesekan dan benturan, karena sempitnya dunia. Tapi siapa yang bertikai tentang akhirat, maka akhirat itu luas dan cukup untuk semua orang.

Yang keempat, mengutip nasihat almarhum Ustadz Rahmat Abdullah yang sangat diingat betul oleh Andi, bahwa manusia itu pada dasarnya makhluk individu. Kita lahir sendiri. Meninggalpun sendiri. Dan menghadapi hari pengadilan juga sendiri. Maka, perjelas sikap diri kita pribadi. Saat dalam kandungan kita sudah diminta mempertegas sikap kita. Nantinya, saat meninggal dan maju ke pengadilan akhirat, kita juga akan menemui hakim dengan seluruh diri kita sendiri. Tidak berjama’ah. Maka, yang perlu kita kuatkan adalah diri kita. Berislamlah secara utuh dan sempurna, baru membuat barisan. Jama’ah itu kuat karena pribadi orang-orangnya yang kuat.

Yang kelima, setiap orang akan teruji dan tertakar jiwanya saat menghadapi krisis. Kalau kita kokoh dengan seluruh argumentasi kita, maka kita tak perlu gusar dengan apa yang akan kita hadapi. Saat menghadapi pelengserannya, Andi menceritakan bahwa ia menghadapi seluruh prosesnya dengan tenang. Awalnya ia juga sedikit gusar. Tapi semuanya selesai saat ia melihat seluruh apa yang dialaminya.

Yang keenam, setiap kita harus menjadi pemimpin. Jangan cuma jadi pengikut. Pemimpin narasi dan perubahan. Karena hanya orang yang besar yang akan mendapatkan tempat. Sejarah seperti itu. Yang ditulis adalah orang-orang kunci. Allah juga menceritakannya seperti itu. Di Al-Qur’an, yang ditulis itu tokoh besar kebaikan dan pengikutnya. Juga tokoh besar keburukan dan pengikutnya. Allah memandangnya sederhana. Bahwa cuma ada dua jenis manusia; manusia baik dan manusia buruk. Jadilah pemimpin yang baik. Jangan cuma jadi follower, apalagi cuma jadi follower keburukan.

Yang ketujuh, milikilah obsesi dan mimpi. Kita pernah mendengar kisah Napoleon. Sejak muda ia membaca kisah penguasa, penaklukan dan cerita orang-orang besar. Saat umurnya di awal 20an, ia mengambil kesimpulan; bahwa ia akan mampu melakukan lebih dari apa yang pernah diceritakan sejarah. Maka beberapa tahun kemudian, ia buktikan dengan berbagai penaklukan. Karyanya tentang militer, hukum dan undang-undang, dipakai di seluruh belahan dunia, sampai sekarang. Ada lagi kisah Alexander Yang Agung yang luar biasa. Yang mampu menaklukan banyak tempat dan wilayah, karena sejak muda, ia membaca kisah-kisah besar peradaban lampau yang disisipkan oleh gurunya.

Yang kedelapan, di era sekarang, smartphone dan media telah merevolusi seluruh peristiwa di dunia ini. Ia juga menjadikan seluruh pekerjaan kita menjadi lebih mudah. Tapi dalam membaca seluruh peristiwa yang terjadi, kita harus membaca segala sesuatu dengan utuh. Jangan hanya membaca isi berita saja. Tapi bacalah struktur berpikir orang yang menyampaikan media. Bacalah struktur berpikir orang yang ingin dibentuk. Ada pesan dalam sebuah berita. Rangkaiannya panjang. Soal perda minuman keras, salah satunya. Itu rangkaiannya banyak. Ada rangkaian pembentukan opini dan skenario yang berkelindan. Dibelakangnya ada sponsor.

(Bersambung ke Bagian 2)

Related Articles

Latest Articles