Oleh: Muhammad Mualimin, Kepala Bidang Hukum dan HAM HMI Cabang Jakarta Selatan
“Mas, kok mau demo segala biar apa? Memang ada hasilnya? Mas ini sebenarnya mau jadi apa deh, Heran saya!”, tanya driver Gojek yang sedang membonceng saya. Waktu itu kami sedang perjalanan menuju Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pertanyaan itu terlontar beberapa waktu lalu. Saat saya hendak menghadiri sidang. Driver saya ini ternyata penasaran, atas dasar apa saya datang dari Jakarta Selatan ke Utara. Sedangkan saya sendiri juga bukan buruh, keluarga atau temannya para Aktivis yang jadi tersangka. Lalu ku jawab saja “Saya ikut sidang untuk cari aman Bang. Kemarin mungkin Bambang Widjayanto yang hendak ditumpas, hari ini mungkin buruh yang dikriminalisasi. Tapi kita tidak pernah tahu bulan depan giliran siapa lagi yang akan dimatikan oleh kekuasaan. Sejarah rejim kita tidak pernah jauh-jauh dari menginjak, menumpas dan membunuh perjuangan para pencari hak. Dengan bersolidaritas inilah sesungguhnya saya sedang menyelamatkan diri saya sendiri. Cari aman dari pemberangusan demokrasi dan pembungkaman ide bang”, lalu si driver hanya menanggapi “oh iya ya, saya baru paham”, jawabnya dengan nada masih berpikir.
Iya, para buruh-buruh yang melawan itu sengaja dikriminalisasi. Mereka hendak disingkirkan, digencet, dihapus bahkan dihilangkan dari peta kehidupan sosial Indonesia. Mereka dianggap pengganggu pembangunan, pengusik kemapanan dan gulma yang harus dicerabut dari dunia industri.
Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Pemerintah, saya juga tidak mengerti buruh itu mendapat tempat yang seperti apa dalam program pembangunan. Saya hanya ingat nasihat Seorang Tokoh Arab pada Abad tujuh Masehi. “Bayarlah upah sebelum keringat pekerja kering”. Hadits ini tentu saja berbicara tentang buruh. Itu tentang hak buruh yang sudah susah payah bermandikan keringat. Pasti tentang buruh, karena tidak semua yang berkeringat adalah kaum Pekerja. Pesan tersebut dalam konteks dunia perburuhan.
Saya menjadi kepikiran, seandainya Tokoh ini hidup pada jaman sekarang, saya rasa Dia seorang Aktivis Buruh. Tapi karena Tokoh ini juga seorang Saudagar, mungkin dia juga bakal berkiprah di organisasi Para Pengusaha semacam APINDO. Gara-gara driver Gojek bertanya begitu, saya jadi kepikiran kemana-mana. Berarti Para Aktivis Buruh yang sedang disidang tersebut sesungguhnya juga telah meneladani jalan hidup Si Tokoh Arab ini. Tokoh ini sendiri belakangan dikenal dengan sebutan Nabi Muhammad.
Saya sendiri tidak pernah bisa menjawab secara meyakinkan bila ditanya “Mas ini sebenarnya cita-citanya apa?”. Saya sendiri tidak tahu mau jadi apa. Asalkan yang ku lakukan itu benar, disitulah saya merasa jadi diri saya sendiri.
Iya, memang tidak menguntungkan secara ekonomi. Dalam hitungan matematis pun, sangat rumit untuk mencari jawaban dari “Anda ikut-ikut demo gitu mau jadi apa?”.
Saya pikir, wajar orang bertanya seperti itu. Dalam dunia yang digerakkan prinsip matrealisme, hanya ada satu kebenaran, yaitu alasan materi. Apapun itu bila secara ekonomi untung, atau setidak-tidaknya lebih banyak manfaatnya daripada ruginya, lebih besar hasilnya daripada biayanya, maka ya itulah kebenaran. Pandangan yang bertentangan dengan itu dianggap salah dan harus dibuang. Karena bertentangan dengan utilitarianisme.
Sekilas memang sangat masuk akal, tapi tahukah anda? Dalam catatan sejarah peradaban bangsa manapun, matrealisme tidak pernah dapat menjawab tuntas pertanyaan “Jikalau semua perut di dunia ini telah kenyang dan hiburan melimpah ruah secara gratis, akankah manusia merasa puas dan bahagia?”. Tidak, matrealisme selalu gagal menjawab persoalan rohaniah dalam diri manusia. Apakah ketika uang, jabatan, popularitas, hiburan dan semua keinginan telah anda dapatkan, apakah serta merta anda akan bahagia? Saya pikir tidak! Itulah mengapa matrealisme, selalu hanya mampu mengisi setengah saja dalam diri saya. Satu hal yang menjadi keunggulan dari kaum matrealis, yaitu kesombongan dan kebodohan.
Kalau kita mau jujur, memang para pejuang HAM itu dapat apa? Orang sekelas Munir, yang rela diracun dan dimatikan, apakah semua itu dilakukan demi popularitas? Tidak! Bahkan dia terkenal setelah meninggal, orang mati sama sekali tak butuh pujian atau tepuk tangan.
Apa yang dicari Gus Dur, yang berkorban kehormatan dan hanya menanggapi santai “gitu aja kok repot” saat dituduh koruptor dan sesat? Tidak! Orang seAgung Gus Dur tidak mungkin punya niat cari sensasi. Bahkan kehebohan hanyalah ciptaan orang awam yang tidak pernah baca buku. Televisi, koran, media berbulan-bulan bahas kasus “Kopi Maut Mirna”, tapi apa pentingnya? Giliran ada perampok berpuluh-puluh tahun mengeruk emas di Timika dan orang Papua hanya dapat sampahnya saja, kita diam seribu bahasa.
Ini peringatan keras bagi mereka yang mengaku Muslim. Selain menenangkan jiwa, dulu Nabi Muhammad sholat di masjid untuk konsolidasi pergerakan, agar gerakan melawan tuan-tuan pemiara budak dan penindas orang kecil itu dapat berjalan efektif.
Yesus sering memberi pengemis, pekerja tertindas dan kaum jalanan itu supaya terhindar dari nafsu ingin menumpuk harta. Ini ada buruh yang meminta haknya, tapi orang-orang malah pasif dan tidak peduli, sedang Tokoh dalam Agama mereka telah sangat jelas mencontohkan arti penting bersolidaritas pada kaum papa.
Tidak hanya Nabi Muhammad dan Yesus yang dekat dengan dunia perburuhan, konon Adam pun juga ingin menjadi buruh. Adam sama sekali tidak punya niat untuk mengecewakan Tuhan. Dia hanya ingin mengaktualisasikan diri. Tiada kuasa sedikitpun untuk Adam tidak mematuhi perintah Allah. Berhadapan dengan-Nya, mana berani Iblis menggoda makhluk kesayangan Tuhan. Adam sebagai junior, sebenarnya pemalu. Dia malu sebenarnya dia bosan menganggur dan ingin ada yang dikerjakan.
Konon di surga itu semuanya ada. Anda mau buah, susu, emas atau kekasih pun tersedia sejak anda berniat ingin. Tapi bagi Adam dan Hawa, hidup yang demikian menjenuhkan. Akhirnya mereka tak punya kesibukan, lha wong semuanya sudah tercukupi. Dari kebosanan itulah, Adam berinisiatif untuk bagaimana caranya bisa dihukum “dibuang” di bumi dan hidup sebagai seorang pekerja. Di bumi untuk makan harus menanam dulu, mau minum harus usaha dulu naik gunung cari air. Maksudnya Adam lebih suka “bekerja” dulu sebelum menikmati apa yang dibutuhkannya. Pekerja dalam istilah sekarang ya buruh itu.
Dari situlah saya mendapat sedikit jawaban. Bahwa bersolidaritas terhadap kaum buruh adalah bagian dari sunnah Nabi-nabi terdahulu. Nabi Muhammad sering sekali membela kepentingan budak dan buruh atau pedagang asongan di pasar madinah. Bahkan muadzin pertama dalam sejarah Islam adalah seorang buruh. Bilal yang katanya budak, sebenarnya adalah pekerja yang hak-haknya dirampas. Budak sebutan lain dari buruh yang tereksploitasi tanpa perlawanan.
Iya, itulah mengapa saya marah ketika buruh dijajah. Sedari awal penciptaan manusia, tidak pernah lepas dari sosok pekerja. Sangat disayangkan, buruh yang meminta haknya malah dipenjarakan. Saya tidak tahu, apakah dukungan moril ini dapat membantu proses persidangan atau tidak. Saya hanya paham satu hal, orang-orang yang sedang dirundug masa sulit dan tersandung, lalu kau temani dia bangun, dihatinya hanya ada kalimat “terimakasih malaikat, kaulah sesungguhnya perwujudan Tuhan di dunia”, ujar si pesakitan sambil menangis bahagia.