SuaraJakarta.co, JAKARTA – Tidak banyak jurnalis internasional yang memfokuskan dirinya pada perlawanan media massa mainstream barat. Dari jumlah yang sedikit tersebut, Kourosh Ziabari boleh jadi adalah jurnalis yang paling banyak kontribusinya pada isu ini.
Perlawanannya adalah seputar isu Islamophobia dan Iran, yang digambarkan secara salah oleh sejumlah media mainstream barat. Kourosh memang berasal dari Iran, tepatnya Kota Rasht. Dia memulai debutnya sebagai jurnalis ketika berusia 12 tahun di majalah mingguan Hatef.
Di Barat, tsunami Islamophobia sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Istilah ini, tsunami Islamophobia, dipopulerkan oleh Dr. Anas al-Shaykh Ali, cendekian Muslim yang kini menetap di London.
Baik Anas & Ziabari, keduanya melihat kehidupan sosial di sejumlah negara barat sudah tidak lagi sehat untuk Muslim. Ketakutan akan Islam begitu tinggi seiring dengan berbagai peristiwa di belahan dunia yang semuanya mengarah pada prasangka “Islam itu teroris.”
Ziabari adalah jurnalis yang sangat produktif. Gagasan dan idenya tertuang dalam artikel yang tersebar di sejumlah media massa timur tengah, seperti Press TV, Tehran Times, Iran Review, Al-Arabiya, Your Middle East dan sejumlah media Tmur Tengah lainnya.
Tidak hanya artikel, dia pun melakukan wawancara dengan para cendekian dunia. Katakanlah Noam Chomsky, Peter Singer, Kjell Magne Bondevik, Massimo D’Alema, Gediminas Kirkilas, Jose Ramos-Horta, F. W. de Klerk, Vaira Vike-Freiberga, Mario Soares, Vicente Fox, Carl Bildt, Hans Blix, Ana Palacio dan Evangelos Venizelos.
Dia pun pernah mendapatkan penghargaan dari mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada 2010. Sejumlah pengakuan atas kinerjanya sebagai jurnalis pun diraih dalam bentuk penghargaan prestis. Bisa dibilang, Ziabari adalah putra Teheran yang memiliki potensi tinggi untuk mengharumkan negaranya melalui profesi jurnalis.
Dalam wawancara yang dimuat di Fair Observer, Ziabari ingin membagi perhatian dunia tentang Islam secara obyektif, bukan pada prasangka negatif yang saat ini dibangun oleh media internasional. Sebagai jurnalis, dia tetap mengedepankan independensi dan kejujuran.
Salah satu yang menarik adalah wawancaranya dengan Nathan Lean, penulis buku best seller “Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims.” Dalam pandangan Lean, Islamophobia telah digunakan sekelompok orang untuk meraup keuntungan. Hasil wawancara Ziabari bisa diakses di www.fairobserver.com.
Tidak hanya terkait Islamophobia, Ziabari pun menentang sanksi Amerika Serikat dan Eropa yang dijatuhi ke negaranya, Iran. Menurutnya, sanksi tersebut sebagai bentuk penjajahan dan pelecehan terhadap hak asasi manusia.
Ziabari menikahi Zahra Kazemi Aliabad, yang dikenalnya ketika sama-sama menempuh studi di Universitas Guilan. Dari pernikahannya itu, keduanya dikaruniai putri cantik, Sayedeh Termeh. Dia pun berharap kelak, putrinya itu akan menjadi jurnalis seperti dirinya. Kalau pun tidak, maka ilmuwan adalah pilihan yang menurutnya juga baik. (*)
Ditulis: Mohamad Fadhilah Zein