Oleh: Erizal. Direktur InCoSt (Institute for Community Studies)
Satu dari seratus satu, pilkada serentak tahun 2017, ada di Payakumbuh. Kendati revisi UU Pilkada belum disahkan, dinamikanya telah terasa. Walikota Riza Falepi belum menyatakan diri maju buat periode kedua, malah di beberapa kesempatan, terlihat ogah-ogahan. Biasalah politisi! Angguk dan geleng sulit dibedakan. Di sela geleng ada angguk.
Wakil Walikota Suwandel Muchtar sudah bergerilya sejak lama. Artinya, seperti di banyak daerah, pecah kongsi tak terhindarkan. Kendati warga kota masih menginginkan keduanya berlanjut, tapi perbedaan prinsip atau kepentingan tak bisa lagi bersua. Warga kota kebanyakan tulus, hanya kalangan elite saja yang tahu konflik itu benar-benar keras.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja walikota dan wakil walikota relatif bagus. Malah, dibandingkan pemerintahan sebelumnya, beberapa tingkat ada di atasnya, terutama di bidang infrastruktur. Riza Falepi dan Suwandel Muchtar, sukses meyakinkan warga kota, Payakumbuh bergerak maju, di tengah sulitnya ekonomi nasional dan global.
Tidak mudah keluar dari bayang-bayang pemimpin sebelumnya, terutama apabila pemimpin sebelumnya itu, dianggap sukses warga kota. Apalagi, pemimpin sebelumnya dua periode pula memimpin. Dan Kota Payakumbuh bukan pula kota besar yang apabila, berteriak dari barat dan timur, utara dan selatan, langsung kedengaran. Tak butuh media.
Media dibutuhkan, di wilayah yang luas. Orang-orang sudah jarang bertatap muka seperti di Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Bahkan, di wilayah-wilayah seperti itu, media pula yang membentuk realitas, atau sebaliknya? Apabila, media sudah bilang A, maka A-lah semuanya, meski realitas sebenarnya B. Orang gagal, bisa dibilang berhasil baik, jika media bilang berhasil; keberhasilan semu. Pecarut pun, bisa dipuja-puja dengan bangga.
Tapi, bukan berarti Payakumbuh tak butuh media. Media, tetap berfungsi sebagai jembatan antarwarga dan warga dengan pemerintah. Sebab, tak ada pemerintahan yang sempurna, media tak kekurangan bahan buat otokritik. Hanya saja, media yang berlebih-lebihan, tak sesuai realitas-berita akan ditinggalkan warga. Warga bisa melihat langsung.
Apalagi, dalam dunia sosial media saat ini. Warga bisa langsung cross check dan menjadi subjek, bukan sekadar objek. Bahkan, bisa tersulut dan membuat pemerintahan bergoyang. Tapi, buat kota Payakumbuh, pemakainya masih terbatas. Kalaupun banyak, bukan digunakan buat kebutuhan pilkada atau mencari sosok pemimpin. Masih mentah.
Menguasai media buat pilkada di daerah, termasuk di Payakumbuh, bukan faktor yang menentukan. Tapi, bukan pula faktor yang jelek. Itu sangat mendukung. Hubungan personal, face to face, pertemanan, kekeluargaan, dan kekerabatan, sangat menentukan. Apalagi, Payakumbuh telah memasuki pilkada yang ketiga kalinya. Pola pemilihnya telah mulai terlihat dan baku. Riza Falepi, termasuk Josrizal Zein bukan yang populer di media.
Yang populer justru tidak berkutik. Setinggi-tingginya ia disanjung-sanjung, warga tak bergeming. Warga bisa melihat langsung apa, siapa dan bagaimana tokoh itu. Malah ada yang menyamakan diri dengan Jokowi, tapi warga melengah saja. Warga lebih tahu, siapa orang tua, keluarga, sanak-saudara, di mana sekolahnya, dan apa pengalamannya. Sebaliknya, orang yang dijelek-jelekkan, bahkan difitnah sekalipun, warga tetap memiliki penilaian sendiri jika itu tak betul. Kecuali, yang betul-betul terlihat di mata kepala warga.
Seperti di luhak lain, luhak Limapuluh Kota juga memiliki tingkat konsistensi yang tinggi terhadap pemimpin sebelumnya. Petahana amat diuntungkan. Tiga kali pemilihan, baik di luhak Agam, Tanah Datar maupun Limapuluh Kota, petahana selalu menang atau lanjut di periode kedua. Aristo, Shadiq, bahkan Irdinansyah, melanjutkan kepemimpinan sebelumnya. Limapuluh Kota selalu dipegang orang-orang lama. Dari Alis kepada Irfendi.
Artinya, di luhak-luhak itu, termasuk Payakumbuh, tingkat coba-coba pemilih atau masyarakat terhadap sesuatu yang baru, atau perubahan sangat kecil. Ingin main aman saja. Tidak mudah terlena dengan janji-janji atau harapan palsu. Buat apa menanam jika ada yang mau menyiang. Kalau tidak ada perubahan drastis, pilihan warga selalu begitu. Petahana akan kembali memimpin. Pecah kongsi tak perlu terjadi, jika sabar menunggu giliran.