Oleh Mohamad Fadhilah Zein
Suarajakarta.co, OPINI – Sesungguhnya kajian antara media massa dengan umat Islam bisa melahirkan banyak hipotesa. Media massa di satu sisi sebagai variabel pertama dan umat Islam di sisi lain sebagai variabel kedua. Jika keduanya dikaji lebih mendalam akan menunjukkan terjadinya dinamika kehidupan sosial dan politik yang beragam. Di Indonesia dan juga di banyak negara yang mayoritas penduduknya muslim, umat Islam memiliki identitas politik, ekonomi dan budaya tersendiri.
Identitas ini yang kemudian menjadi corak khas yang terpecah ke dalam organisasi keislaman. Di Indonesia, organisasi-organisasi ini tumbuh subur seiring dengan perubahan zaman, dari era otoritarianisme ke era reformasi yang membebaskan hak-hak warga negara sipil. Konstitusi bahkan menjamin kebebasan warga sipil sebagai bagian dari kehidupan yang anti otoriter.
Kebebasan berpendapat di dalam organisasi Islam seperti gelombang besar yang menghancurkan tembok raksasa dalam bangsa dan negara. Tengok saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah sejak lama menggaungkan Khilafah Islamiyah. Di era Pak Harto, suara-suara seperti itu tidak akan mendapat tempat karena akan dianggap subversif. Runtuhnya dogma asas tunggal dalam bernegara memungkinkan semua orang memiliki cara pandang yang berbeda, bahkan termasuk cara pandang Islam (Islamic Worldview).
Di era kebebasan seperti saat ini, semua pihak akan bertanding untuk menunjukkan identitas mereka. Dalam hal politik, umat Islam tentu akan memilih politik Islam, selain ada pula yang memilih sekulerisme. Sebuah pertandingan untuk merebut pengaruh atas ide, gagasan dan pemikiran. Media massa kemudian menjadi panggung yang diperebutkan, karena di sana lah tempat pertarungan terjadi.
Ketika negara tidak lagi mengurus media, maka warga sipil benar-benar merdeka untuk membangun pilar ke-empat ini. Siapa pun bisa menjadi pemilik media, asal dia memiliki modal besar dan jaringan kuat. Sejak reformasi bergulir, sudah tidak terhitung berapa media massa yang jatuh bangun. Kondisi ini kemudian membagi media massa kepada dua bagian, media arus utama (mainstream) dan media pinggiran. Disebut arus utama, karena media ini mampu menciptakan opini publik, bahkan memengaruhi penyelenggara negara untuk mengambil kebijakan publik.
Kita kaitkan variabel media massa dengan variabel umat Islam. Media massa arus utama memberikan definisi tersendiri terhadap apa itu Islam. Di banyak artikel, kita menjumpai definisi Islam Politik, Islam Abangan, Islam Tradisional, Islam Garis Keras, Islam Puritan, Islam Wahabi, Islam Takfiri dan sebutan lainnya. Newspeak (sebutan baru) yang sebenarnya tidak akan pernah dijumpai dalam khazanah keislaman itu sendiri.
Identitas politik, ekonomi dan budaya Islam dalam definisi media massa mainstream pemaknaannya atau penafsirannya didominasi oleh argumentasi kelompok-kelompok sekuler. Dominasi ini menjadi sulit dilawan karena didukung oleh media-media arus utama, yang notabene mereka memiliki infrastruktur besar untuk menciptakan informasi dan opini.
Media massa arus utama kemudian secara sengaja mempolarisasi Islam dan umat Islam, sekaligus memasok makna ke dalam konteks identitas kultur dan gerakan yang sesungguhnya tidak demikian. Kemudian lahi perbedaan makna yang disuguhkan media massa arus utama tentang Islam dengan makna Islam itu sendiri. Tentunya ini menunjukkan adanya kelompok dominan (penguasa media massa) dan kelompok terpinggirkan (umat Islam yang tidak menguasai media massa). Lalu bisakah kita sebut ini sebagai Imperialisme definisi atau informasi?
Disebut imperialisme, karena kelompok terpinggirkan tidak bisa meng-counter balik atas definisi atau informasi yang disuguhkan oleh kelompok dominan. Kalaupun ada, maka itu dianggap hanya riak-riak kecil atas perlawanan yang tidak berarti.
Polarisasi ini bisa kita dapatkan dari pemberitaan yang dibingkai (framing) sehingga opini audiens tergiring ke dalam wacana yang tentunya sudah diharapkan oleh media massa arus utama. Tentu sangat sulit untuk melawan opini yang disuguhkan media massa arus utama. Mereka memiliki infrastruktur yang kuat dan canggih, serta manajemen perusahaan yang besar.
Pertanyaan selanjutnya, bisakah kita mengetahui adanya pembingkaian informasi? Tentu sangat mudah. Contohnya begini. Jika sebuah koran nasional ingin menginformasikan tentang Timur Tengah, tentu media tersebut membutuhkan seorang pengamat. Tapi, siapakah pengamat Timur Tengah yang dihadirkan media itu? Kita tahu pengamat yang dihadirkan dari kelompok liberal. Pernahkah media memberi ruang atau panggung dari kelompok-kelompok berseberangan, meski kelompok berseberangan memiliki kompetensi untuk mengamati apa yang terjadi di Timur Tengah? Jawabnya hampir dipastikan tidak pernah.
Dalam kasus lain, pernah kah media cetak raksasa memberi panggung atas ide, pemikiran dan gagasan dari kelompok-kelompok Islam yang berseberangan dengan sekulerisme dan liberalisme? Pasti tidak pernah, karena media massa memang tidak ingin kelompok-kelompok Islam itu menjadi dominan di negara ini. Dari dua kasus di atas kita bisa membuktikan bahwa media massa arus utama telah melakukan imperialisme informasi dan opini tentang apa itu Islam dan apa yang terjadi di Timur Tengah.
Dari sekian banyak hipotesa yang dihadirkan dari dua variabel, media massa dan umat Islam, maka penulis memilih hipotesa kezaliman dan imperialisme. Ada banyak sampel yang bisa diambil dari konten-konten pemberitaan untuk mendukung hipotesa di atas.