Fahri Adalah Korban Dari Ketidakmauan Partai Melakukan Sirkulasi Elit

Oleh: Bambang Prayitno
Alumni KAMMI

Komisi Nasional Rakyat Indonesia Menggugat (Komnas RIM) mengadakan acara Diskusi Publik dalam rangkaian pembukaan Sekolah Advokasi dan Paralegal. Acara ini diselenggarakan di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada tanggal 17-19 Juni 2016. Hadir dalam acara Diskusi Publik, ratusan peserta dari Bandung, Banten dan Jakarta. Mereka adalah aktivis dari berbagai organisasi pergerakan mahasiswa dan kaum muda. Juga peserta dari organisasi masyarakat sipil.

Acara diskusi publik sendiri, mengambil tema; “Demokrasi dalam Cengkraman Oligarkhi”. Pembicaranya adalah Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI), Rocky Gerung (Dosen Filsafat UI), Sugeng Teguh Santosa (Sekjen PERADI), Bob Randilawe (Ketua Majelis PRODEM) dan Effendi Saman (Ketua Komnas RIM).

Secara teori, oligarki berarti kekuasaan yang dimonopoli dan dikendalikan oleh sekelompok kecil orang. Berdasar sejarah, oligarki Orde Baru ditopang oleh tiga kekuasaan besar; ABRI Birokrat, Golkar. Di era sekarang, kekuatan penyokong oligarki beralih ke bentuk lain. Tapi, secara garis besar, ancaman kita sekarang adalah kekuatan modal.

Dalam diskusi tersebut, Fahri bercerita bahwa ada hal yang perlu ditegaskan kembali dalam alam berpikir publik. Sebagian dari kita, tumbuh dalam era transisi. Sedangkan transisi berlangsung dengan sangat cepat. Sementara, di sisi yang lain, pemimpin kita hidup tanpa rekaman yang utuh tentang proses transisi itu sendiri. Kehidupan bernegera kita dilandasi oleh konstitusi demokratis. Secara akademik dan riil, perubahan konstitusi kita, dengan amandemen keempat yang terakhir, sudah cukup baik. Problemnya, memang perubahan konstitusi kita perlu disempurnakan.

Pondasi konstitusi kita yang terbaru, menyaratkan bahwa rakyat itu diatas segala-galanya dan lebih penting dari negara. Di atas pondasi itu, kita lahirkan konstitusi yang baik. Konstitusi yang baik itu menjadi dasar untuk membangun institusi yang baik. Oligarki muncul karena tidak ada sistem kepartaian kita. Termasuk soal pembiayaan partai. Di Amerika, biaya politik dibiayai swasta. Publik Amerika sekarang sedang diancam kegelisahan, karena swasta seperti memonopoli kebijakan.

Karena tidak ada sistem yang menguatkan demokrasi dan sistem kepartaian, orang partai sekarang ini bisa mendapat uang darimana saja. Termasuk dari korporasi atau modal. Karena tidak dibangun sistem kepartaian kita secara utuh, maka, pimpinan partai justru muncul dari kemuatan modal atau pemilik konglomerasi media yang mengatur seluruh informasi dalam ruang publik. Dan itu bahaya. Para politisi bisa menjual diri. Dan akhirnya, ia dikendalikan untuk memuliakan jalan penguasaan sumberdaya ekonomi modal. Cara memutus oligarki dalam politik adalah dengan memutus uang privat dalam politik.

Bob Randilawe menyatakan bahwa dari asal katanya, oligarki adalah kekuasaan yang dikelola oleh pemilik kekayaan material. Sementara Aristoteles menyatakan, bahwa negara yang rusak adalah negara yang memiliki kekayaan material. Kita tidak memusuhi oligarki. Kalau demokrasi surplus, maka akan muncul anarkisme. Kalau demokrasi minus, maka akan muncul oligarki. Dunia sudah bergerak dari kearifan lokal menuju kearifan global. Sementara kearifan global membutuhkan demokrasi. Oligarki yang kita tolerir adalah oligarki yang sesuai dengan karakter masyarakat kita. Yang harus kita tolak adalah oligarki yang didalamnya ada persekutuan jahat; dimana kekuasaan segelintir orang dilanggengkan demi mengakumulasi modal.

Sugeng Teguh Santosa Sekjen PERADI mengungkapkan bahwa ia sepakat dengan Fahri Hamzah, dimana bangunan negara kita adalah konstitusi demokratis. Tapi, kalau kita praktikkan bangunan konstitusi demokratis secara utuh, maka seharusnya problem kenegaraan kita selesai. Reformasi sistem kepartaian kita tidak selesai karena penyusun Undang-Undangnya adalah partai politik. Kita bisa dengan serius memperbaiki sistem politik kita dengan mengurangi wewenang legislatif pada soal budgeting, dimana sebagian fungsi budgeting diberikan kepada wakil rakyat yang dipilih rakyat (DPD).

Sementara Dosen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung, menyatakan bahwa secara akademis, konsepsi oligarki itu adalah konsep yang mewah dalam pikiran. Karena oligarki adalah konsep dimana pemimpin merupakan seleksi dari sekelompok kecil masyarakat. The choosen. Yang berkuasa adalah orang-orang terpilih.

Lanjut Gerung, bahwa manusia itu adalah binatang politik. Istilahnya; political animal. Atau ‘zoon politicon’ dalam bahasa yang digunakan Aristoreles. Kita adalah binatang yang berpolitik. Genus kita adalah binatang. Tapi kita berbeda dengan binatang. Manusia mampu berpolitik sedang binatang tidak. Politik adalah upaya manusia untuk mendistribusikan keadilan. Sedangkan sifat predasi (saling memakan) adalah sifat alami bagi binatang.

Problemnya memang, demokrasi justru bukan dalam cengkeraman oligarki. Tapi demokrasi datang meminta oligarki merawatnya. Seperti Golkar yang didatangi oleh Presiden dan akhirnya Golkar memberikan cek kosong pada pada presiden. Kita baru dalam fase “keluar dari” menuju “masuk ke”. Keluar dari otoritarianisme masuk ke demokrasi. Perlu proses yang panjang. Tapi hari ini, kita memang pantas memberikan kritik pada lembaga rakyat yang memelihara ketertutupan. Oligarki dulunya ‘dipropose’ oleh orang yang punya pikiran kaya. Tapi hari ini oligarki itu di isi oleh orang yang tidak punya pikiran.

Hadir dalam diskusi itu, Liesnawati yang merupakan ibu rumah tangga sekaligus aktivis rakyat Kampung Baru Dadap yang memimpin ibu dan warganya menolak penggusuran. Ia menceritakan tentang keteguhannya melawan upaya paksa penggusuran kampung nelayan. “Suami saya nelayan. Dan saya penjual makanan pecel lele. Kami berjuang untuk anak-anak kami. Mati sekarang atau besok tetap mati. Tapi, mati dalam membela kebenaran dan keadilan adalah sebuah kehormatan bagi saya” katanya. Sementara Paskah Irianto, pendiri Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) menyatakan bahwa hari ini, rakyat perlu kompak, bersatu dan membangun organisasi sekecil apapun untuk melawan kekuatan modal dan kekuasaan yang ingin merampas tanah dan hak rakyat lainnya.

Dalam sesi pemaparan, ada hal yang menarik yang disampaikan oleh Rocky Gerung tentang Fahri Hamzah. Rocky mengatakan bahwa, dulu, ia mengingat Fahri sebagai anak muda yang memimpin perjuangan mahasiswa dan rakyat agar Indonesia mengalami transisi demokrasi. Tapi kini, Fahri justru menjadi korban dari praktik oligarki teokratis. Fahri adalah korban dari ketidakmauan partai melakukan sirkulasi elit.

Related Articles

Latest Articles