SuaraJakarta.co – Terhitung sejak 20 Oktober 2014 Jokowi-Jk bersumpah janji untuk rakyat dan Ibu Pertiwi. Bersumpah untuk membawa perubahan, kejayaan, dan kesejahteraan yang terbungkus dalam Nawacitanya. Kurang lebih satu setengah tahun sudah Jokowi-Jk memimpin negeri ini, dan apa yang sudah terjadi dan terbukti. Setiap dari kita mungkin mempunyai pandangan yang berbeda atau bisa jadi mempunyai cara pandang yang sama akan proses pembangunan yang terjadi. Terdapat hal menarik memang jika mencermati sepakterjang pemerintahan Jokowi-Jk, terlebih dalam isu hangat terakhir ini. Isu tentang kisah Cina dan Indonesia.
Pembangunan terus menerus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai Nawacita. Berbagai macam strategi, diplomasi, dan jurus-jurus sakti dikeluarkan oleh Jokowi. Pemerintahan berusaha untuk menampilkan hal yang dahsyat bersama koalisi Indonesia Hebat. Terdapat salah satu yang mencolok dalam proses pembangunan yang ada, hal tersebut adalah semakin eratnya hubungan Indonesia dengan Cina. Cina hadir ibaratkan cinta pertama yang penuh dengan mesra. Kerjasama dilakukan diberbagai bidang, terutama dalam hal hutang. Melalui menteri perekonomian Rini Soemarno, Indonesia melakukan hutang kepada Cina sebesar Rp 520 Triliun. Tentu ini merupakan nominal yang sangat besar, terlebih pada saat itu Indonesia masih memiliki tanggungan hutang sebesar Rp2800 triliun. Dalam pemaparanya, Menteri Rini berharap dengan adanya modal yang sekian besar Indonesia mampu berdikari dalam hal perekonimian. Duta Besar RI Imron Cotan untuk Cina memberikan komentar penguatan akan hal yang dilakukan oleh Menteri Perekonomian. Menurutnya tidak ada satupun Negara yang di dunia ini yang lepas dari Cina, hal ini karena Cina merupakan Negara dengan tingkat perekonomian terkuat kedua di dunia.
Dalam peristiwa hutang ini, hal yang sangat instan terjadi dalam proses pembangunan. Alih-alih untuk berdikari, justru Indonesia bisa merugi. Secara dalam pasar, Cina mampu memproduksi barang-barang secara masal dan murah, hal ini justru bisa menjadi boomerang bagi Indonesia. Dalam kerjasaman ini Indonesia sangat penting untuk tidak terlena, karena jika Indonesia gagal dalam melunasi hutang tersebut maka kekayaan Indonesia bisa terancam. Diantaranya adalah ancaman terhadap kekayaan alam atau material Indonesia, hak milik atas BUMN, dan kekuatan politik yang kemudian bisa saja terjadi secara pararel.
China selingkuh Lewat Natuna
Sejak jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, isu kemaritiman menjadi hal yang sangat dihangat diperbincangkan. Hal ini tak lain karena Potensi kemaritiman menjadi salah satu hal yang akan menjadi senjata andalan Jokowi dalam kampanyenya, yang terbungkus dalam NAWACITA untuk pembangunan Indonesia. Hampir di setiap media pada waktu pernah mengangkat headline tentang potensi kemaritiman Indonesia. Mulai dari pembangunan tol laut, potensi perikanan laut, isu illegal Fishing, dan hal-hal lain yang berbau serba kelautan. Pasangan Jokowi-Jk seakan-akan ingin membangunkan masyarakat Indonesia tentang jatidirinya sebagai Negara maritim yang adidaya dengan segala kekayaanya, membuktikan dan menyadarkan Indonesia akan lagu lamanya, bahwa Indonesia mempunyai nenek moyang seorang pelaut. “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” begitulah penggalan lagu tersebut.
Namun proses ini sedikit ternoda, karena adanya pihak ketiga yang menjadi ancaman dalam mencapai NAWACITA. Tapatnya ketika tertangkapnya kapal-kapal Cina yang mencuri ikan di tapal batas Natuna. Jika kita sedikit flashback keatas terkait dengan efek dari adanya kerjasama Indonesia dengan Cina. Kasus pencurian ini bisa menjadi pertanda permainan kekuatan Cina atas Indonesia. Proses Perselingkuhan terjadi diantara mereka.
Setelah tertangkap kapal-kapal milik Cina tersebut, Indonesia mengirimkan surat keberatan terhadap Cina dan bersikukuh untuk membawa proses pencurian ini ke hukum Internasional. Sedangkan Cina juga tidak mau kalah, Cina meminta Indonesia untuk segera mengembalikan kapal-kapal yang mereka sita. Hubungan diplomatis kedua Negarapun sempat tertanggu, secara politik kejadian ini pasti bersifat multiefek. Karena dengan merasa dilemahkanya Cina terhadap Indonesia dari sisi kejadian ini, Cina pun tidak akan tinggal diam dan mencari celah lain untuk membuktikan kekuatanya.
Kejadian diatas membuat Indonesia untuk berwaspada, kejadian ini bisa menjadi pertanda bahwa ancaman bisa datang kapan saja. Natuna bisa menjadi saksi awal akan adanya gangguan kecil Indonesia-Cina disaat sisi lain Indonesia berhutang kepada Cina.
Penulis: M. Ali Mahmudin, Mahasiswa Institut Pertanian Bogor