Oleh: Amar Ar Risalah, Koordinator Hukum dan Sosial Paguyuban Masyarakat Jakarta
Begitulah, penggusuran telah terjadi. Janji-janji kampanye hanyut bersama Kali Ciliwung yang keruh. Hari Rabu, 28 September, sekitar 400 KK kehilangan tempat tinggal. Jumlah ini hampir dua kali lipat korban bencana luapan banjir Kali Cimanuk di Garut.
“Yang namanya digusur itu, sakit, sakit sekali,” Kata seseorang yang dulu pernah berkampanye. Maka, disusunlah sederet rencana. Dibuatlah istilah kampung susun yang waktu itu begitu menarik simpati warga.
Bahkan-ungkap Ciliwung Merdeka-Kampung susun dan desainnya, langsung disetujui oleh bapak Joko Widodo, sehari setelah beliau ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam kunjungannya di komunitas Bukit Duri pada tanggal 16 Oktober 2012.
Warga yang menyadari bahwa alam tidak bisa dilawan, mencoba koperatif dan menuruti janji pemerintah. Sampai akhirnya hari itupun tiba. Pemerintahan berganti dan seorang yang keras, berhati dingin, dan kejam, menduduki jabatan.
Surat demi surat pemberitahuan datang, sementara warga Bukit Duri merasa memiliki berkas administrasi. Listrik dialirkan. Plat-plat alamat rumah dipasang: tanda bahwa mereka legal.
Warga menggugat; sidang demi sidang-dalam catatan sudah 9 sidang-dan sang tergugat, yang katanya menggusur demi hukum, tak pernah hadir. Ia katanya menghormati hukum dan diberitakan di mana-mana, namun tak pernah menghormati persidangan.
Pengadilan, kini menguntungkan rakyat kecil. Namun apa daya, ada kekuatan besar yang tak bisa orang kecil melawannya: rumah tetap digusur. Polisi dan tentara berkeliaran seperti kelelawar ke sela-sela gang. Para tetua diteror.
Dan pemerintah tidak pernah peduli. Rakyat akhirnya hanya statistik yang baru penting ketika musim kampanye sebagai suara. Sisanya: mereka musti dibasmi. Mereka adalah batu-batu kerikil yang menghambat pembangunan.
Maaf, rakyat Bukit Duri. Pemerintah kita sudah tidak peduli. Karena pohon dan rerumputan di jalur hijau lebih punya hak hidup daripada kita.
Pemerintah kita dibuai pemberitaan media massa. Pemimpin kita memang harus dipahlawankan. Sejarah-dan kini media-ditulis oleh mereka yang menang. Ayat-ayat suci, Surat An-Nisa ayat 58 dan 59, tentang serahkan kepemimpinan pada ahlinya, dan bahwa kepemimpinan harus ditegakkan dengan adil, tidak lagi didengarkan.
Pemimpin kita harus dibenarkan. Sesakit apapun rasanya. Bahkan meskipun kita musti kehilangan tanah. Bahkan jika kita tidak lagi boleh mengedepankan Al-Qur’an, karena yang terpenting, media dan pengembang mendapatkan jatah.
Maaf, rakyat Bukit Duri, kita memasuki zaman ketika persidangan pembunuhan seorang yang tidak berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat diberitakan sepanjang 25 kali, dan persidangan kita, bersama warga Bidara Cina, bersama warga Luar Batang, tidak akan disiarkan.
Karena menemukan kesalahan pemerintah lalu menuntutnya di pengadilan, adalah tindakan rasis, tindakan dosa demokrasi, dan tindakan kriminal. Karena siapa yang menaruh sianida di cangkir kopi lebih penting daripada 400 bangunan yang hari itu dihancurkan.
Tidak usah bicara UU No 15 Tahun 2005. UU yang merupakan hasil kovenan internasional persoalan sosial dan budaya. Menurut kovenan itu, perumahan layak adalah yang memiliki kepastian hukum, layanan publik yang memadai, keterjangkauan, kelayakhunian, aksesibilitas, lokasi, dan kelaikan budaya.
Kovenan itu, bernama resmi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Ah, aktivis pro pemerintah diluar sana akan tetap mengatakan: Salah siapa tinggal di sana?
Pemimpin sekarang ini sudah bukan lagi dinabikan. Ia dituhankan. Ia menjadi thagut-thagut baru di samping thagut-thagut Pilpres dan Pilkada yang belum selesai.
Tak usah bicara The Vancouver Declaration On Human Settlements. Bagi mereka, cukup membaca judul-judul berita pro pemerintah. Cukup membaca meme comic yang dibuat di markas teman-teman kecilnya. Cukup naikkan tagar dengan bot, maka pembangunan berjalan.
Pada Bagian III butir keenam berbunyi:
“kebijakan dan program pemukiman manusia harus ditetapkan dan diusahakan untuk standar minimum yang progresif untuk kualitas yang dapat diterima hidup. Standar-standar ini akan bervariasi dalam dan antar negara, serta lebih dari periode waktu, dan karena itu harus berubah sesuai dengan kondisi dan kemungkinan yang ada….”
“…Beberapa standar harus tepat didefinisikan secara kuantitatif, sehingga memberikan hasil yang tepat pada level lokal dan nasional. Yang lain harus kualitatif, dengan dengan ketercapaian subjek jika diperlukan. Pada saat yang sama, keadilan sosial dan berbagi sumber daya yang adil menuntut pembatasan konsumsi berlebihan.” Lanjut pasal itu lagi.
“Mana undang-undang dan perdanya?” Ah, kawan. Jangankan penggusuran. Reklamasi Pantai Utara Jakarta saja tetap berjalan meskipun puluhan aturan melarang itu.
Maaf, rakyat Bukit Duri.
Pemerintah hanya peduli pada yang kaya. Lagipula, mana peduli mereka dengan urusan keadilan sosial, urusan budaya, atau urusan dampak tetek bengek penggusuran pada “manusia”. Yang penting sungai bersih, difoto, lalu dinaikkan buzzer.
Maaf, rakyat Bukit Duri.
Orang-orang hebat sudah berjuang: Sanggar Ciliwung Merdeka, Romo Sandyawan, Jaya Suprana, Bang Jack, dan beberapa ormas Betawi lain. Akan tetapi-dalam istilah Lembaga Bantuan Hukum-Atas Nama Pembangunan, kita adalah sepah-sepah kota.
Maka bergeraklah; kita harus dengan seia sekata, menolak pemimpin zalim. Adil sejak dalam pikiran, logis sejak dalam nalar!
Sebagaimana roda pembangunan menggilas orang-orang miskin, kita juga akan bergerak menggilas tiran dan raja-raja kecil!
Kita adalah bisul yang mesti dibasmi dan digerus. Maka berdoalah, sebagaimana doa Nabi Nuh: Ya Allah! Ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan ampunilah mereka yang memasuki rumahku dengan keadaan beriman, serta ampunilah orang beriman laki-laki dan perempuan…”
“….dan jangan tambahkan bagi orang zalim selain kebinasaan!” (Nuh, 28)