SuaraJakarta.co, JAKARTA – Arus perubahan sosial-politik Indonesia yang terjadi secara signifikan pasca tahun 1998, membuat sistem sosial-politik Indonesia selalu berada dinamika yang sangat tajam. Salah satu dinamika sosial-politik yang mengalami perubahan signifikan tersebut adalah mengenai perubahan pemilihan pemimpin eksekutif, baik di level kabupaten/kota, provinsi, hingga presiden sekalipun. Sehingga, tak jarang, eksperimen-eksperiman bangsa ini dalam mengelola negara cenderung tak kunjung selesai, tergantung kesepakatan pada rezim politik saat itu.
Hal tersebut ditegaskan oleh Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia dalam kicauannya di twitter beberapa hari silam, dalam menanggapi polemik RUU Pilkada yang sedang dibahas di internal DPR.
“Alhasil, hukum pemda/ pilkada kita selalu dalam eksperimen yang tak selesai-selesai. Tapi, eksperimen itu konstitusional. Tinggal mana yang disepakati”, tutur mantan ketua MK ini di akun @mohmahfudmd 17 September 2014 silam.
Oleh karena cara bangsa ini bernegara selalu dalam tahapan Policy Learning maka dampaknya adalah membuat rakyat belum siap untuk mengikuti dinamika yang cepat atas perubahan rezim tersebut. Akibatnya, kesadaran masyarakat untuk tidak mendukung money politic dalam adalah hal yang tidak memungkinkan dalam pilkada langsung.
Adanya korelasi positif antara perilaku masyarakat dengan kualitas hasil pilkada langsung tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, saat sidang promosi Doktor Ilmu Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) beberapa hari silam.
“Tapi, kami yakin faktor perilaku masyarakat juga berpengaruh. KPK bilang 71% masyarakat setuju dan mau menerima money politics”, kata mantan Gubernur Sumatera Barat tersebut sebagaimana dikutip dari Harian Sore Suara Pembaraun Senin (22/9) di halaman A4
Pernyataan akademik tersebut bukan tanpa dasar. Karena, menurutnya, signifikansi dampak adanya pilkada langsung terhadap munculnya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, mencapai angka 80,5%. Artinya, sistem pilkada langsung, secara implisit, memaksa kepala daerah terpilih untuk berpikir mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, baik dari pribadinya maupun dari sponsor yang mendukungnya.
“Unit analisis yang digunakan dalam penelitian adalah kepala daerah yang dipilih secara langsung sejak 2005. Dari 528 kepala daerah, terdapat sampel sebanyak 85 daerah. Yang tersebar di 5 provinsi, 65 kabupaten, dan 15 kota. Hasilnya, besar pengaruh pemilihan langsung secara simultan terhadap korupsi kepala daerah sebanyak 80,5%”, katanya dalam berita yang disampaikan dari Antara
Angka tersebut menjadi sebuah kewajaran. Oleh karena, sejak 2005 hingga Desember 2013, terdapat 319 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum. Sebanyak 283 di antaranya terjerat soal korupsi. Terdiri atas 243 kepala daerah berstatus tersangka, sisanya, 76 kepala daerah, masih dalam pemeriksaan. Sehingga, penelitian ini, setidaknya menjadi peringatan untuk mempertanyakan signifikansi pilkada langsung bagi terciptanya demokrasi substantif yang sesuai dengan jiwa Pancasila yang sudah berpuluh-puluh tahun dianut oleh bangsa Indonesia. (ARB)