SuaraJakarta.co, JAKARTA – Presiden Jokowi telah menandatangani PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Kenaikan Upah Buruh. Sayangnya, PP tersebut mengisyaratkan formula baku tiap tahun, dimana kenaikan upah minimum buruh adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Hal itulah yang menjadi sorotan Anggota Komisi IX DPR RI Adang Sudrajat. Menurutnya, PP tersebut telah menuai banyak kecaman dari kaum buruh. Kaum buruh, tambah Adang, dinilai terlalu “over estimate” karena menganggap formula ini adalah terobosan baru.
“Saya menelaah, bahwa kebijakan pemerintah tentang pengupahan ini telah memberi ruang luas bagi para pengusaha untuk memberikan upah murah. Karena kenyataan yang terjadi adalah, munculnya dampak multiefek termasuk stagnasi perekonomian secara menyeluruh. Oleh Karena itu, Pemerintah perlu meninjau secara detail dan serius semua regulasi tentang upah ini”, jelas Adang sebagaimana rilis yang diterima suarajakarta.co, Sabtu (26/8).
Stagnasi ekonomi yang dimaksud adalah tidak adanya pertumbuhan daya beli. Sebaliknya, terjadi penurunan besar-besaran yang terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi paling rendah.
“Penurunan daya beli ini terjadi begitu cepat, sehingga banyak menimbulkan kekahwatiran para pengusaha dan pemodal untuk menjalankan usaha produksi maupun investasi. Kekahwatiran ini lebih didasari pada pengembalian biaya investasi yang terancam tidak tercapai,” jelas Adang.
Fakta di dua tahun terakhir, jelas Adang, pembangunan infrastruktur besar dan permanen banyak terlihat di berbagai daerah. Namun kenyataannya, iklim usaha yang diwarnai daya beli masyarakat yang rendah dan jumlah penduduk miskin yang masih tinggi dengan indeks internasional kemampuan daya beli (purchasing power parity) hanya sebesar 1US$ dan 2 US$. (RDB)