SuaraJakarta.co, JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI Ansory Siregar menegaskan untuk menolak sebagian pasal dari PP 78/2015 tentang Pengupahan. Pasalnya, beberapa pasal PP tersebut bertentangan dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Sejak awal Kelompok Komisi (Poksi) IX Fraksi PKS menolak pembahasan PP ini, termasuk saat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ini dibahas. Oleh karena substansi dan prosesnya tidak dijalani dengan baik oleh pemerintah,”tegas Ansory di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/5).
Ansory menjelaskan beberapa pasal yang bertentangan tersebut sebagaimana terdapat pada Pasal 12, 15, 16, 27, dan 44. Selain itu, Legislator asal Dapil Sumatera Utara III ini juga menegaskan proses penyusunan PP ini juga cacat prosedur karena tidak memiliki naskah akademik dan tanpa dilakukan public hearing.
“Tidak ada keterlibatan buruh dan pengusaha dalam penyusunan PP ini. Sejak Februari 2015 sudah tidak ada lagi pertemuan tripartit yang serius membahas PP ini. Yang ada hanya beberapa pertemuan sosialisasi dari apa yang dirumuskan oleh pemerintah tanpa mengindahkan masukan-masukan dari elemen buruh,” jelas Ansory.
Ansory pun menegaskan terdapat beberapa persoalan seputar upah yang masih krusial, seperti Kebutuhan Hidup Layak, Upah Minimum, Upah Sektoral, serta Struktur dan Skala Upah. Di Indonesia perhitungan upah minimum masih menggunakan perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sementara di banyak negara Asia sudah menggunakan metode Indeks Harga Konsumen (CPI).
“PP Adalah wewenang Pemerintah, sehingga DPR tidak punya wewenang untuk mencabutnya. Karena sudah tercatat dalam Lembaran Negara, pencabutan PP ini hanya bisa dilakukan oleh Presiden sebagai pihak yang menandatangani PP atau Pengadilan yang sudah melakukan proses hukum terhadap PP ini,” tambah politisi senayan sejak tahun 2009 ini.
Selain upah minimum, menurut Ansory, ketentuan Struktur dan Skala Upah di dalam PP pun bertentangan dengan UU. Di UU 13/2003 disebutkan pengusaha ‘dapat’ membuat struktur dan skala upah, tetapi dalam PP 78/2015 justru menjadi ‘kewajiban’.
“Mengubah ‘dapat’ menjadi ‘wajib’ adalah sesuatu yang bertentangan. Jika ada pengusaha yang merasa dirugikan dan melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA), potensi pasal PP ini dibatalkan MA sangat besar,” ungkap politisi pengusul penghapusan sistem outsourcing di BUMN ini.
Terkait dengan Upah Sektoral, Ansory menegaskan aturan yang termuat dalam PP cenderung tidak adil. Oleh karena, simulasi perhitungan yang stabil berdasarkan Pasal 44 PP 78/2015 disesuaikan dengan variabel tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi per tahun.
“Misalnya, beberapa daerah yang sudah lebih tinggi dari DKI akan selalu lebih tinggi untuk lima tahun ke depan. Sementara gap antara DKI dengan daerah-lain akan semakin jauh jika dilakukan simulasi penghitungan yang stabil berdasarkan rumus,” papar Ansory.
Karena itu, Ansory mendesak pemerintah untuk mendengar aspirasi buruh yang turun ke jalan sampai Hari Jumat (27/11), karena bisa membuat gejolak yang cukup signifikan. “Pemerintah harus membuka mata hati dan pendengarannya dan pemerintah harus berpihak pada rakyat dalam hal ini para buruh,” tegas Ansory.