SuaraJakarta.co, JAKARTA – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyerukan agar Pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) lebih serius dalam memperkuat kelembagaan penegakan hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam (LH-SDA). Hal ini disampaikan dalam 2nd Roundtable Discussion yang bertajuk memperkuat kelembagaan penegakan hukum LH-SDA yang dihadiri oleh sejumlah LSM, antara lain ICEL, AURIGA, HUMA, JATAM, PILNET, FWI, PWYP, dan perwakilan dari Universitas Leiden.
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyatakan bahwa “Saat ini kondisi penegakan hukum LH-SDA cukup memprihatinkan karena masih lemahnya kinerja institusi kepolisian, kejaksaan, dan kementerian dalam penegakan hukum LH-SDA. Presiden Jokowi harus memiliki agenda yang konkret dan terukur untuk mereformasi ketiga lembaga tersebut. Pada tingkat pengadilan, Mahkamah Agung perlu lebih serius memperkuat sistem sertifikasi hakim lingkungan melalui monitoring dan evaluasi serta sistem insentif dan disinsentif bagi hakim lingkungan.” tambahnya.
Timer Manurung, Direktur AURIGA menyatakan “Kasus nenek Asyani menunjukkan bahwa penegakan hukum LH-SDA saat ini masih tajam ke bawah dan tumpul keatas. Kondisi ini diperparah dengan absennya sistem penegakan hukum satu atap dan lemahnya case tracking system yang memunginkan berbagai pihak untuk melakukan monitor penanganan perkara di institusi kepolisian, kejaksaan, dan kementerian.” Imbuhnya
Dahniar Andriani, Direktur Eksekutif HUMA menyatakan “Salah satu persoalan gagalnya penegakan hukum LH-SDA dikarenakan lemahnya perhatian Pemerintah dan Mahkamah Agung terhadap pengadilan adat yang dalam kasus-kasus tertentu justru menunjukkan efektivitas penegakan hukum LH-SDA.” Selain itu, kegagalan penegak hukum dalam mematerialisasikan kerugian negara atas pencemaran/perusakan LH untuk dibawa ke pengadilan turut memberikan kontribusi mengapa penegakan hukum tidak berjalan efektif.” imbuh Maryati Abdullah, Koordinator PWYP.
Terkait dengan kinerja pengadilan, Ki Bagus dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyoroti buruknya kinerja hakim LH dalam menangani perkara gugatan tata usaha negara dalam kasus pertambangan PT. Semen Indonesia di kawasan karst Gunung Kendeng. MA harus megambil sikap terkait hal ini. Senada dengan hal itu, Martin (KIARA) juga menyoroti terhadap kinerja penegak hukum di pengadilan perikanan.
Diskusi ini ditutup dengan kesimpulan bahwa wacana pembentukan pengadilan khusus lingkungan hidup merupakan inisiatif yang baik, namun masih harus diperdalam lagi. Kesimpulan ini didasarkan dari pemikiran bahwa pembentukan pengadilan baru belum tentu dapat menyelesaikan permasalahan, malahan harus dikaji seberapa efektif dapat menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup. Selain itu, belum ada evaluasi secara detil terhadap sertifikasi hakim lingkungan hidup yang sudah berjalan. Hal penting yang harus dilakukan saat ini adalah mengoptimalkan seluruh sumber daya yang sudah dimiliki, seperti sertifikasi hakim lingkungan hidup di Mahkamah Agung dan institusi penegak hukum lain seperti: KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Optimalisasi sumber daya ini menjadi jalan untuk menuju pembentukan pengadilan khusus lingkungan hidup.