SuaraJakarta.co, SAMARINDA – Lubang tambang di Samarinda baru saja memakan korban ke-10 Ardi Bin Hasyim (13 tahun). Tewasnya Ardi, menurut rilis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), melengkapi prestasi hitam Walikota Samarinda Syaharie Jaang. Menurut JATAM, sejak menjabat Wakil Walikota hingga Walikota Samarinda 2010 lalu, Syaharie tak kunjung mencabut dan mengevaluasi izin-izin tambang yang berada di kawasan padat pemukiman. Bahkan Walikota hanya mengutus Camat untuk mengunjungi keluarga korban malam tadi.
Dari keterangan aktivis JATAM Merah Johansyah, Ardi yang merupakan putra dari pasangan Hasyim dan Nur Aini yang berusia 13 tahun ini sejak sabtu kemarin pergi meninggalkan rumah. Setelah dua hari dicari oleh orangtuanya, akhirnya ia di temukan telah mengapung dan meninggal di lubang tambang PT. CMS. Perusahaan tersebut bergerak di bidang pertambangan yang merupakan kontraktor dari PT. Cahaya Energi Mandiri (CEM).
Keseharian Ardi hanya bermain di sekitar rumah bersama anak-anak tetangga lainnya dan terkadang juga suka melihat mobil-mobil pengangkut batubara dan kendaraan tambang yang lalu-lalang di dekat rumahnya.
“Pagi-pagi ia sudah mulai pergi melihat mobil-mobil pengangkut batubara itu dan biasanya pulang ketika waktu makan siang, setelah itu ia kembali lagi ke pos penjaga di areal pertambangan dan pulang lagi ketika sore hari ketika akan mandi sore. Kadang sore hari ia masih kembali bermain dan pulang paling larut jam 9,” ujar Hasbullah ayah tiri Ardi yang setiap hari juga menjemput pulang anaknya dari lokasi pertambangan.
Ardi yang terlahir berkebutuhan khusus dan tunarungu ini melengkapi korban-korban lubang tambang yang selama ini membunuh anak-anak (daftar nama anak-anak tewas di lubang tambang terlampir).
Petisi Lubang Tambang
Sebelum kasus Ardi, Rahmawati yang merupakan ibu dari korban lubang tambang ke-9 Raihan, membuat petisi change.org/lubangtambang. Petisi itu ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk menutup dan menghukum perusahaan pemilik lubang tambang batubara yang banyak memakan korban anak-anak ini. Hingga kini, petisi yang dimulai sejak empat bulan lalu di laman Change.org tersebut didukung lebih dari 11.000 orang.
Ibu Rahmawati juga telah berdialog dan menyerahkan petisi tersebut secara langsung ke Menteri Siti Nurbaya dan sejumlah instansi lainnya, seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, dan Komnas Perempuan. Saat itu Menteri berjanji akan memperhatikan dan menyelesaikan masalah itu sebelum bertambah korban lagi.
Dugaan Sejumlah Pelanggaran
Di Samarinda, banyak sekali lubang-lubang bekas tambang batubara yang beracun dan dibiarkan menganga tanpa direhabilitasi. Menurut rilis JATAM, sejumlah perusahaan yang patut bertanggung jawab atas kejadian maut ini adalah PT Hymco Coal (2011), PT. Panca Prima Mining (2011), PT. Energi Cahaya Industritama (2014), PT. Graha Benua Etam (GBE) (2014) dan Perusahaan Tambang PT Cahaya Energi Mandiri (CEM) yang mencabut nyawa Ardi. PT.CEM terdaftar dengan Nomor SK IUP: 545/315/HK-KS/VI/2010 dan beroperasi dengan luas 1680,35 hektar sejak 17 Juni 2010 dan ijinnya akan berakhir pada 30 April 2018.
Kunjungan Tim JATAM Kaltim tiga jam setelah evakuasi pada siang hari menemukan kesaksian warga bahwa lubang ini berada di kawasan tambang yang dekat dengan pemukiman penduduk dan fasilitas publik tempat pembuangan akhir (TPA). Kegiatan tambang, Houling, dan lubang bekas tambang ini diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2012 Tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman dan fasilitas publik. Kenyataanya jarak kegiatan tambang Houling hanya 10 meter dari halaman TPA Sambutan.
“Selain itu menurut kesaksian warga, perusahaan diduga baru saja memasang plang larangan beraktivitas, memancing dan berenang di kolam tersebut sesaat setelah jatuh korban,” kata Merah.
Menurut JATAM, perusahaan tambang di atas diduga melanggar keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, karena tidak memasang pelang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang sejak awal. Lubang tambang Milik PT CEM ini seluas dua kali lapangan sepakbola dan ditemukan menjadi penampungan air bekas cucian batubara di atasnya.
JATAM Kaltim juga berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat dijerat Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Dalam pasal tersebut memuat unsur “barang siapa”, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang”, “tidak melakukan pengawasan”, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan”, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”, “ mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”, telah terpenuhi.
Pertanggungjawaban politik pun mestinya digelar DPRD Samarinda dan DPRD Kaltim untuk memanggil Walikota melalui Hak Interpelasi dan Angket. Legislatif harus mendesak Walikota Samarinda untuk menghukum perusahaan.
“Kami dari JATAM Kaltim meminta Walikota untuk MUNDUR dari jabatan karena telah gagal dan lalai atas tanggung jawabnya. Kami juga mendesak Gubernur Kaltim untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini,” tutup Merah.