SuaraJakarta.co, JAKARTA – Bencana banjir yang melanda sebagian besar wilayah Myanmar, termasuk negara Bagian Rakhine, beberapa hari terakhir ini telah mencuatkan cerita baru penderitaan Rohingya di Myanmar. Hujan yang berminggu-minggu menguyur negara bagian Rakhine telah merusak bangunan-bangunan dan ratusan hektar lahan pertanian. Tidak terkecuali, banjir yang melanda negara bagian Rakhine berimbas ke Pengungsian Rohingya yang ada di ibukota Rakhine, Sittwe City.
Berdasarkan berita yang dilansir BBC Indonesia, 140.000 orang Rohingya yang menjadi korban banjir kabarnya ditolak mengungsi ke tempat-tempat umum, termasuk biara-biara oleh aparat kemananan. Rohingya juga dilarang mengungsi ke sekolah-sekolah dan balai desa. Perlakuan diskriminatif ini semakin menegaskan begitu menderitanya Rohingya di tanah kelahirannya.
Heri Aryanto, Koordinator Advokasi Pengungsi dari SNH Advocacy Center mengatakan, orang-orang Myanmar seharusnya sadar dan intropeksi diri bahwa bencana banjir yang melanda Myanmar bisa jadi sebagai bentuk balasan dari ulah tangan-tangan mereka yang telah menganiaya, membantai, dan memperlakukan Rohingya secara kejam dan tidak manusiawi. Nasehat, anjuran, desakan, petisi, dan bahkan Resolusi PBB yang selama ini disampaikan sepertinya tidak cukup membuat pemerintah dan orang-orang Myanmar taubat, sehingga Allah kemudian mengirimkan banjir supaya mereka tersadarkan.
“Allah Maha Adil, siapa yang menanam keburukan, maka Allah akan memberikan balasan keburukan pula”, sebut Heri.
Apa yang dialami Rohingya saat ini adalah pelanggaran HAM berat. Untuk menanggulangi kejadian ini, UNHCR sebagai lembaga PBB yang menaungi pengungsi harus segera bertindak menolong Rohingya yang ditolak mengungsi di tempat-tempat umum. Sanksi internasional juga harus diberikan negara-negara dunia kepada Myanmar yang terbukti hingga saat ini terus melangsungkan tindakan tidak manusiawinya terhadap Rohingya.
“Embargo dan pemutusan hubungan diplomatik sepertinya bisa jadi sanksi yang efektif untuk Myanmar”, pungkasnya.