CIDES: Tantangan Tax Amnesty Periode Kedua dan Ketiga Lebih Berat

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Direktur Eksekutif Centre for Information and Development Studies (CIDES), Rudi Wahyono menyambut positif pencapaian Tax Amnesty, baik yang berasal dari harta deklarasi maupun repatriasi, di periode pertama.

Meskipun demikian, CIDES, tambah Rudi, meminta pemerintah untuk tetap optimal dalam Tax Amnesty jilid kedua dan ketiga, khususnya dalam memerbaiki database penerima pajak dan menutupi shortfall tahun 2016, hingga mencapai Rp 219 triliun.

“Apresiasi terhadap pemerintah, khususnya Dirjen Pajak Kemenkeu, yang telah bekerja keras mendapatkan dana dari tarif tebusan sebesar Rp 89,1 triliun, dan total Rp 3.450 triliun dari deklarasi serta repatriasi. Tapi, target akhir tahun tarif tebusan adalah sebesar 165 triliun. Jadi, masih ada defisit Rp 75,9 triliun. Ini yang perlu dikejar untuk menutupi shortfall 2016,” jelas Rudi sebagaimana rilis yang diterima suarajakarta.co,, Senin (3/10).

Jadi, tambah Rudi, rasio pencapaian tarif tebusan tersebut terhadap shortfall 2016 masih cukup jauh. Pemerintah sudah mengantisipasinya melalui penghematan anggaran negara yang dikeluarkan melalui Inpres sebesar 133 triliun. Tapi, penghematan tersebut, 68 triliun di antaranya adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi haknya daerah. Sehingga, harus ditutupi pada anggaran RAPBN 2017 dengan melihat pencapaian dari Tax Amnesty periode kedua dan ketiga.

“Penerimaan negara di APBN kita sejauh ini sebagian besar hanya mengandalkan dua hal, yaitu dari sektor pajak dan sektor migas. Migas tidak optimal karena situasi krisis di timur tengah yang tak menentu, sedangkan shortfall hingga akhir tahun meleset hingga Rp 219 triliun,” jelas Rudi.

Oleh karena itu, Rudi menilai optimalisasi penerimaan negara melalui Tax Amnesty pada periode kedua dan ketiga harus lebih serius. Bahkan, pemerintah harus lebih optimal mengejar para pengemplang pajak yang memiliki dana di luar negeri untuk mau mendeklarasikan hingga merepatriasikan aset yang dimilikinya ke dalam instrumen-instrumen investasi yang ada di Indonesia.

“Meskipun demikian, pemerintah harus antisipasi jika target 160 Triliun hingga akhir 2016 tidak tercapai. Mengingat, tarif tebusan pada periode kedua dan ketiga, lebih tinggi daripada periode pertama. Ini tentu akan memengaruhi psikologis para pengemplang pajak untuk mengikuti program Tax Amnesty,” tambah Master di Bidang Ekonomi Lingkungan dari Chengkung National University, Taiwan ini.

Di sisi lain, Peneliti Junior CIDES Ridwan Budiman menyarankan agar pemerintah memersiapkan langkah untuk mengajukan langkah-langkah politik jika ternyata target penerimaan negara dari Tax Amnesty tidak tercapai.

“Beberapa langkah yang bisa diambil adalah mengajukan revisi terbatas ke DPR di Prolegnas 2016, khususnya mengenai perpanjangan program Tax Amnesty hingga Desember 2017. Atau menyiapkan Perppu atas UU tersebut. Ini sangat mungkin karena DPR bisa memahami bahwa kondisi keuangan kita saat ini sedang tidak baik,” jelas Tenaga Ahli DPR RI ini.

Dengan menyiapkan antisipasi secara politik tersebut, Dirjen Pajak relatif memiliki waktu yang cukup untuk mengejar dana-dana di luar negeri. Termasuk, bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri dalam kerangka Diplomasi Ekonomi.

“Yang paling terpukul dari adanya defisit shotfall ini adalah Pemda. Karena tidak hanya anggaran operasional yang dipotong, tapi juga proyek-proyek pembangunan yang sudah diteken kontrak di semester I, menjadi tertunda realisasinya. Pembangunan menjadi mangkrak, dan ini bisa menjadi preseden buruk bagi kalangan swasta untuk menanamkan investasinya di Indonesia,” jelas Ridwan.⁠⁠⁠⁠ (RDB)

Related Articles

Latest Articles