Lebaran adalah hari kemenangan, jutaan muslim seantero dunia menyambutnya dengan penuh suka cita. Berbagai masakan dihidangkan, baju baru pun disiapkan, tak lupa jadwal silaturahim ke sanak keluarga serta sahabat disiapkan.
Satu hal yang tak kalah penting: menyiapkan pula uang lebaran alias amplop salam tempel untuk para keponakan, anak-anak, serta anak teman yang datang berkunjung. Ini tradisi, yang ternyata tak hanya berlaku di Indonesia. Di Mesir, salam tempel tak hanya diberikan kepada anak-anak, namun juga kepada perempuan yang sudah memiliki anak oleh saudara perempuan suaminya. Di Malaysia, salam tempel dimasukkan ke dalam amplop hijau, lalu diberika kepada anak-anak. Kadang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah hari mereka berhasil berpuasa penuh, tentu saja: sebagai hadiah perjuangan mereka berpuasa. Di sana, salam tempel ini mereka sebut ‘uang raya’.
Maka tak heran, bagian inilah yang paling dinanti anak-anak saat lebaran: pembagian jatah salam tempel. Yes! Dan adalah lumrah di ujung hari lebaran, anak-anak sibuk menghitungi uang yang berhasil dikumpulkannya, lalu saling membandingkannya dengan yang lain. Namanya juga anak-anak: spontan dan tak pernah mau kalah.
Termasuk bocah perempuan dalam kisah ini. Siang itu, belasan tahun yang lalu, sepulang dari bersilaturahim dari rumah kerabat, dengan riang dua anak perempuan menggandeng tangan Bundanya menaiki sebuah angkot. Panasnya matahari tak menghilangkan keceriaan mereka. Tentu saja, mereka baru menerima uang salam tempel dari tuan rumah tadi masing-masing lima ribu rupiaj. Belasan tahun yang lalu, lima ribu bisa untuk membeli lima buah es krim! Bahagianya dua bocah itu..
Di satu perempatan lampu merah, masuklah seorang pengemis lelaki renta, dengan muka ditumbuhi benjolan tumor besar. Wajahnya luar biasa menyedihkan! Bajunya pun sangat lusuh, kotor, juga compang-camping. Ia meminta belas kasihan kepada penumpang angkot itu, sambil menjulurkan sebuah kantong plastik, berharap penumpang iba dan mengisinya dengan rupiah. Salah satu bocah yang masih menggenggam kuat angpaunya itu ternganga, sedih, jatuh iba. Segera lembar lima ribuan kesayangannya yang sedari tadi ia genggam kuat, ia masukkan dalam kantong plastik milik pengemis renta itu. Lega hatinya melihat pengemis itu berterimakasih begitu tulus sebelum kemudian turun dari angkot.
Namun, leganya berubah galau begitu melihat adiknya masih menggenggam utuh uang lima ribunya. Wajah resahnya tertangkap oleh Sang Bunda.
Bundanya tersenyum,”Yang ikhlas ya Kakak, Bunda bangga kakak spontan bersedekah. Sedekah itu dibalas banyak pahala dari Allah. InsyaAllah diganti lebih banyak nanti..”
Sang bocah memang tak langsung mengganti wajah resahnya dengan ceria. Tapi hatinya kini sedikit merekah: iya, uangku habis, tapi pahalaku bertambah, gumamnya dalam hati.
Anak-anak selalu punya spontanitas yang lugu, namun tulua. Satu hal yang mungkin harus dicontoh manusia dewasa. Satu hal juga yang harus terus dipupuk, diarahkan dan disemangati oleh orang tua serta lingkungannya. Spontanitas yang tulus, tanpa mengharap balas jasa, yang belum tentu dimiliki manusia dewasa.
Penulis: Sari Kusuma