Inspirasi kali ini tak soal bu Haji, pak Haji, Mbak Muthowifah atau semua yang berkaitan dengan umroh dan haji. Justru dari seorang ibu yang tak sempat terpikir soal naik haji, apalagi umroh. Sebab untuk biaya sekolah anak saja dia harus banting tulang.
Siang itu, seperti biasa dengan dua keranjang plastik dia berkeliling kampung. Wanita berusia belum genap 40 tahun itu memang tampak lebih tua dari usia biologisnya. Wajahnya kusam, sawo matang, kulitnya mulai keriput, rambutnya yang terikat tegas ke belakang sama kusamnya. Namun demikian langkah kakinya tegap, setegap cahaya mata serta perawakan tubuhnya yang termasuk tinggi untuk ukuran rata-rata wanita Indonesia.
Baju lengan panjang serta topi yang tak pernah lepas dari kepalanya sepertinya tak sepenuhnya melindungi kulitnya dari terik matahari Jakarta siang itu. Cukup maklumlah jika ia tampak lebih tua dari umur biologisnya, sepertinya sinar ultraviolet telah membuat kulitnya mengalami penuaan dini.
“Pepes, pepes..Pepes ayam, pepes tahu, pepes ikaann! Sayur-sayuuurr..”, Teriaknya lantang menawarkan dagangan di satu kampung padat penduduk di pusat kota Jakarta.
“Pepes! Sini Mbak, belii..”, sekelompok Ibu di salah satu pojokan kontrakan memanggilnya.
“Ada sayur bayem, gulai nangka, kulit melinjo disambelin campur teri…”, begitu meletakkan keranjang dagangannya, segera ia absen satu-satu menu dagangannya. Masing-masing dibungkus dalam plastik tahan panas bening ukuran 1 kg, harganya berkisar 2 hingga 10 ribu per bungkus. Aneka lauk dan sayur tersebut ia ambil dari warteg langganannya, langsung dibungkus per porsi.
Langsung saja para calon pembeli menyerbu keranjangnya, tiap orang setidaknya mengambil dua kantong, lalu langsung membayar kontan.
“Alhamdulillah. Tellas..”, gumamnya sambil menghitung lembaran abu-abu, kuning, biru dan ungu di dompetnya. Lalu bersegera pulang, menuju kontrakan sempitnya: seukuran tak lebih dari 4 x 4 meter, dengan kamar mandi di teras luar dipakai bersama pengontrak yang lain. Di situ ia tinggal bersama dua anaknya, yang tertua masih kelas 1 SMA, yang kecil kelas 6 SD. Bersama dua anaknya ini ia lawan kerasnya kota Jakarta. Suaminya telah wafat 5 tahun yang lalu, dan sejak itulah ia berjuang menghidupi kedua anaknya.
Ia sempat menjadi TKW di negeri Arab, namun sejak suaminya wafat, ia tak tega lagi meninggalkan mereka bersama sang nenek.
“Yang penting halal, deket sama anak, dan ga nadahin tangan aja”, tegasnya, menjawab pertanyaan salah seorang pembeli soal pilihan profesinya itu.
“TKW kan enak, gajinya gede Mbak’e”, sanggah yang lain.
“Uang banyak tapi kepikiran anak terus ya mana enak. Enak di sini, tiap hari bisa ketemu pepes ayam, hehe..”, selorohnya, sambil disambut senyum yang lain.
Hidup itu pilihan. Setiap pilihan manis, kadang ada sisi pahit getir langunya. Setiap pilihan pahitpun kadang terpaksa diambil demi buah manis yang nantinya akan dipetik.
Penulis: Sari Kusuma