Foto wanita itu terpampang di halaman pertama koran ibukota. Ia adalah seorang pemenang kontes kecantikan negeri ini, lalu menjadi runner up untuk kontes kecantikan antar negara. Penghargaannya didapat juga karena aksi sosialnya membuat sanitasi dan fasilitas air bersih di Kampung Kamancing, satu desa di wilayah Banten. Malam itu, wajah cantiknya dengan gaun indah dan tiara di atas kepalanya menjadi sorotan dan flash light dari berbagai kamera awak media. Sebuah karangan bunga cantik dihadiahkan seorang pengusaha, sementara karangan bunga besar beserta ucapan selamat dari berbagai pihak berjejer di sana. Semua memuja, berdecak kagum, terpesona, ada pula yang iri ingin menjadi sepertinya. Ia begitu gemerlap, anggun, terkenal, namanya harum semerbak membanggakan seluruh Indonesia dengan prestasinya.
Sementara, ratusan kilometer dari sana, di salah satu kota kecil di ujung pulau Sumatera, seorang wanita berjilbab mencoba bangun dari jalanan beraspal. Ia baru saja terjatuh dari motor yang dikendarainya, darah mengucur deras dari dagunya yang robek. Orang di sekitarnya segera menghambur menolong, dan membawanya ke klinik terdekat. Dalam waktu singkat, dagunya dijahit, 6 jahitan!
Tak ada publikasi media, tak ada karangan bunga, tak ada cahaya blits kamera, apalagi wartawan yang meliput, lalu mengucapkan rasa simpati. ‘Hanya’ doa serta ucapan simpati dari anak-anak, saudara, serta tetangga terdekat. Ya, dia kan bukan Miss Universe?
Ya, memangnya dia siapa sampai perlu diliput wartawan? Memangnya dia siapa sampai perlu mendapat karangan bunga besar tanda simpati?
Dia ‘hanya’ seorang ibu dari 5 anak, yang 3 anaknya telah lulus pesantren, dan satu di antaranya menjadi penghafal Quran, dua lagi sedang menyelesaikan pendidikan sarjana di negeri jiran. Sementara 2 lagi masih sekolah tak jauh dari rumah, dan ia antar sendiri bolak-balik dengan motor sederhananya.
Dia ‘hanya’ seorang ibu rumah tangga, yang pernah mengundurkan diri dari menjadi PNS, demi mengasuh anaknya. Padahal ia adalah lulusan berpredikat cum laude dari perguruan tinggi negeri terkenal di Surabaya. Padahal ia adalah pelajar teladan se kabupaten di kampung halamannya dulu. Padahal untuk membiayai kuliahnya dulu, orang tuanya harus membanting tulang, bekerja ke negeri orang, sampai berhutang untuk membayar SPPnya.
Dia ‘hanya’ seorang ibu rumah tangga, yang meskipun pontang-panting menghidupi kelima anaknya bersama sang suami, ia masih sempat membiayai adik-adiknya kuliah hingga lulus sarjana. Ia juga ‘hanya’ ibu rumah tangga, yang dengan rizki dari Allah, dan keridhoan dari sang suami, mereka berdua membiayai perjalanan haji ibundanya. Padahal ia sendiri belum pernah tiba di tanah Harom waktu itu, baik untuk umroh, apalagi untuk naik haji! Bukannya tidak terpanggil, tapi,”Kan Ibu saya sudah bekerja keras membiayai saya dulu, biarlah Ibu saya menerima balas jasa dari saya sekarang dengan ongkos haji ini,” tegasnya.
Dia tak begitu perduli dengan kaidah fiqih bahwa: dalam ibadah tidak dianjurkan untuk mendahulukan orang lain. Toh sebelumnya dia juga sudah mendahulukan suaminya menemani mertua perempuann naik haji, sudah terbiasa mendahulukan orang lain. Biar saja..
Dia ‘hanya’ seorang ibu rumah tangga, yang setiap hari bergumul dengan urusan dapur, kasur dan sumur. Tak kenal sosial media, tak kenal selfie dengan jilbab modis, make up berlapis kesan natural, hingga urusan pencitraan lainnya. Dia ‘hanya’ sibuk mendampingi suaminya: seorang Doktor lulusan Kyushu University, juga guru besar ilmu kimia di perguruan tinggi tempatnya mengajar.
Yup, dia ‘hanya’ seorang ibu rumah tangga, yang memilih profesi itu dengan sadar. Bukan miss universe yang harus berkompetisi keras agar menyandang gelar itu, sehingga jadi wanita terkenal ke seantero jagad bumi.
Kalau kamu, kamu ‘hanya’ apa?
Penulis: Sari Kusuma