Oleh: Sari Kusuma
SuaraJakarta.co, RESENSI FILM – Peluru tajam melanggar Hukum,” protes Alif pada sang Kapten. Lalu segera, dia memasuki gedung itu sendiri menuju ruang tempat gembong narkoba itu bertahan. Belasan pasukan sang gembong ia lumpuhkan dengan tangan kosong, benar-benar sosok pahlawan! Tiba di hadapan sang gembong, mereka bernegosiasi, saling menggertak. Tapi tiba-tiba, sebuah peluru tajam menembus kepala sang gembong. Alif tersentak kaget. Dan bukan kepalang terbelalaknya ia karena keesokan harinya ia diskors karena dituduh sebagai pengguna peluru tajam itu. Alif sang perwira aparat negara heroik yang selalu membela negara itu pun mulai galau.
Itulah sepenggal babak “3: Alif, Lam, Mim”. Berlatar Indonesia pasca revolusi, film ini termasuk film anti meanstream. Anggy Umbara seolah mengekspresikan idealisme serta satirenya atas rata-rata stereotipikal masyarakat atas berbagai peledakan bom atas fasilitas umum. Di sini tergambarkan gamblang bagaimana Indonesia liberal itu. Seorang anak dibully seluruh gurunya karena ayahnya pernah dipergoki sholat. Masjid-masjid telah punah berganti menjadi gudang. Ulama dibunuh, setelah menjadi tahanan tanpa melalui proses peradilan. Hanya tersisa satu wilayah disebut distrik 9 yang dengan pondok pesantren Al-Ikhlas sebagai pusatnya, yang menjadi basis masyarakat muslim yang ingin menjalankan agamanya dengan damai, walaupun mereka berasal dari berbagai aliran.
Alif, sang aparat heroik itu berusaha mempertahankan stabilitas itu sebab doktrin membela negara yang dipegangnya erat. Dia tetap memasang kacamata kuda, bahkan setelah aroma konspirasi membuatnya diskors.
Alif, Lam dan Mim adalah tiga remaja santri yang sejak awal dilatih mahir beladiri oleh tokoh Guru. Perguruan mereka bubar karena ditutup negara saat masa revolusi. Alif remaja bertekad menjadi aparatur negara demi mencari pelaku pembunuhan Ummi dan Abinya. Lam yang suka menulis berikrar akan terus menyuarakan kebenaran melalui tulisannya sebagai jurnalis. Mim akan terus bertahan di pesantren, membesarkan dan memelihara pesantren, sesuai cita-citanya: khusnul khotimah.
Belasan tahun berlalu, mereka berada dalam lingkaran konspirasi. Kejanggalan soal peluru tajam, serta soal bom di sebuah kafe, membuatnya berusaha mencari tahu. Dan kepada Lam lah dia mencari tahu. Naasnya, pengeboman itu pun menunjuk pesantren tempat Mim sebagai pelaku. Kejanggalan itu membuat mereka bertiga kembali bersatu untuk mencari kebenaran sesungguhnya. Berkat mereka bertiga yang ahli bela diri, terungkaplah misi busuk dibalik detasemen khusus.
Meski tergolong sinema aksi, penulis tidak melewatkan sisi drama manusiawi di dalamnya. Masuknya tokoh Laras sebagai cinta pertama Alif, hadirnya tokoh Gendis dan Gilang sebagai istri dan anak Lam, menjadikan film ini lebih manusiawi.
Jika anda menyukai alur cerita teori konspirasi masa lalu ala Batman Begins, mungkin dahaga anda akan sinema Indonesia yang berkualitas akan terobati. Jika anda terpesona akan efek sinematografi beladiri dalam The Matrix, atau gaya jagoan The Raid-2 melumpuhkan lawannya dengan tangan kosong, atau perilaku hacker dalam meretas server seluruh negeri seperti dalam sekuel Die Hard 4.0, anda harus menonton film ini.
Tapi lepas dari kepuasan sinematografi itu, anda harus bersabar dengan spesial efek yang dimiliki film ini. Latar ibukota seolah mirip Gotham City: canggih di satu sisi, namun kumuh di sisi lain, ditampilkan biasa saja. Juga gambar ledakan bom, nampak kurang smooth.
Tapi lepas dari sedikit kelemahan itu, film ini terlalu unik untuk dilewatkan. Romantisme antara Alif dan Laras sayang untuk dilewatkan. Heroisme 3 sekawan Alif, Lam dan Mim terlalu seru untuk disia-siakan. Dan apa hal yang berada di balik detasemen khusus terlalu menantang untuk tidak diikuti akhirnya. Dan alurnya terlalu keren untuk dilewatkan.
Pokoknya, jika anda bosan dengan film Indonesia yang monoton dengan genre drama, horor atau komedi romantis, anda akan berdecak kagum dengan film ini! Yuk, dukung film berkualitas, sebelum habis masa tayang. [***]