SuaraJakarta.co, FILANTROPI – Dalam pandangan Islam, zakat merupakan ibadah sosio-economy yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan baik dari sisi doktrin Islam maupun dari sisi pembangunan ekonomi umat. Sebagai suatu ibadah, zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, seperti diungkapkan hadist Nabi Rasulullah saw. Demikian tinggi kedudukan zakat dalam Islam, sehingga Allah swt menyetarakan zakat dengan ibadah shalat yang merupakan tiang agama. Beberapa ayat berikut menggambarkan betapa pentingnya ibadah zakat tersebut.
Dalam surat Al Mukminun, orsng yang menunaikan zakat itulah yang dijanjikan akan mendapatkan kebahagian. Allah swt berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat…”, (QS Al Mukminun 1-4). Jadi bagi para pencari kebahagiaan, menunaikan zakat adalah jalan yang mesti ditempuh. Mereka yang bergelimang harta namun tidak berzakat, maka jangan harap akan menemukan kebahagiaan.
Selain itu, Al-Qur’an menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikasi utama kedudukan seorang dalam Islam. Islamnya seseorang dipandang sempurna jika ia telah berzakat. Allah swt berfirman, “Dan jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama…”, (QS At Taubah 9). Rupanya zakat menjadi indikator seseorang itu islam atau tidak.
Setelah seseorang itu berislam, janji Allah swt yang lain adalah ia akan mendapatkan rahmat dan pertolongan-Nya dengan berzakat. Allah swt berfirman, “… Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong (agama) Nya. Sungguh Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, dan kepada Allah lah kembali semua urusan,” (QS Al Hajj 40-41).
Kesadaran berzakat merupakan suatu keharusan bagi orang yang mengaku beragama Islam. Bukan hanya sebatas melaksanakan kewajiban kepada Allah swt, tapi menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia. Jadi, dengan ibadah zakat inilah Allah mengajarkan bagaimana menanggulangi persoalan ekonomi yang pasti akan dialami oleh umat manusia. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk otrang-orang fakir, miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk memerdekakan (hamba sahaya), untuk membebaskan orang-orang yang berhutang, untuk yang berjuang di jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,…”, (QS At Taubah 60).
Allah swt Yang Maha Kuasa, telah menciptakan manusia sebagai penghuni bumi ini dengan segala ragamnya. Diciptakan keberagaman itu agar satu sama lain saling berinteraksi sosial, saling membantu, saling menolong. Satu sama lain saling membutuhkan. Mereka yang hidup penuh derita, bersahabat dengan pedih dan air mata, dikarenakan masalah ekonomi, bisa teratasi dengan ibadah zakat ini.
Sejarah telah membuktikan, masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz sering disebut sebagai masa keemasan pembangunan ekonomi Islam. Umar Bin Abdul Aziz muncul di persimpangan sejarah umat Islam di bawah kepemimpinan dinasti Bani Umayyah. Pada penghujung abad pertama hijriyah, dinasti ini memasuki usianya yang keenam puluh, atau dua pertiga dari usianya, dan telah mengalami pembusukan internal yang serius. Umar sendiri adalah bagian dari dinasti ini, hampir dalam segala hal. Walaupun pada dasarnya ia seorang ulama yang telah menguasai seluruh ilmu ulama-ulama Madinah, tapi secara pribadi ia juga merupakan simbol dari gaya hidup dinasti Bani Umayyah yang korup, mewah dan boros.
Itu membuatnya tidak cukup percaya diri untuk memimpin ketika keluarga kerajaan memintanya menggantikan posisi Abdul Malik Bin Marwan setelah beliau wafat. Bukan saja karena persoalan internal kerajaan yang kompleks, tapi juga karena ia sendiri merupakan bagian dari persoalan tersebut. Ia adalah bagian dari masa lalu. Tapi pilihan atas dirinya, bagi keluarga kerajaan, adalah sebuah keharusan. Karena Umar adalah tokoh yang paling layak untuk posisi ini.
Ketika akhirnya Umar menerima jabatan ini, ia mengatakan kepada seorang ulama yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri, “Aku benar-benar takut pada neraka.” Dan sebuah rangkaian cerita kepahlawanan telah dimulai dari sini, dari ketakutan pada neraka, saat beliau berumur 37 tahun, dan berakhir dua tahun lima bulan kemudian, atau ketika beliau berumur 39 tahun, dengan sebuah fakta: reformasi total telah dilaksanakan, keadilan telah ditegakkan dan kemakmuran telah diraih. Ulama-ulama kita bahkan menyebut Umar Bin Abdul Aziz sebagai pembaharu abad pertama hijriyah, bahkan juga disebut sebagai khulafa rasyidin kelima.
Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, pemangkasan birokrasi, penyederhanaan sistem administrasi, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja negara, dan pada waktu yang sama, mensosialisasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah masyarakat. Dengan cara begitu Umar memperbesar sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.
Dalam konsep distribusi zakat, penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat, yang selanjutnya mendorong meningkatnya suplai.
Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tapi juga dapat menjadi faktor stimulan bagi pertumbuhan ekonomi di tingkat makro.
Itulah yang kemudian terjadi di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tapi tak seorang pun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq zakat benar-benar habis secara absolut. Sehingga negara mengalami surplus. Maka redistribusi kekayaan negara selanjutnya diarahkan kepada subsidi pembayaran utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi sosial dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan negara, seperti biaya perkawinan. Suatu saat akibat surplus yang berlebih, negara mengumumkan bahwa “negara akan menanggung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah di usia muda.”
Subhanallah, itulah yang terjadi ketika masyarakat telah menyadari dan menunaikan kewajibannya membayar zakat, maka distribusi harta kekayaan itu akan sampai kepada mereka yang berhak menerimanya. Sebagaimana perintah Allah swt, “…agar harta kekayaan itu jangan hanya beredar diatara orang-orang kaya saja diantara kami…,” (QS Al Hasyr 7).
Penulis: Husni Mutaqin