SuaraJakarta.co, FILANTROPI – Mungkin kita tidak pernah tahu, sebesar apa timbangan amal seseorang, karena itu adalah perkara yang ghaib. Hanya Allah swt yang Maha Mengetahui sebesar apa balasan atas amal perbuatan yang dilakukan seseorang. Tapi Allah swt menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap amal perbuatan itu pasti akan dihisab atau diperhitungkan. Tidak ada yang luput dari pengawasan Allah. Kebaikan sekecil apapun, pasti akan diberi pahala. Sebaliknya, kejahatan sekecil apapun pasti akan dibalas, kecuali jika Allah telah mengampuninya.
Allah swt berfirman, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat balasannya (pula)”, QS Al Zalzalah 7-8).
Atau dalam firman Allah swt yang lain, “Barangsiapa berbuat kebaikan, ia mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan, maka ia dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikitpun tidak dirugikan,” (QS Al An’am 160).
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim yang meyakini akan perjumpaan dengan hari akhir, yang yakin bahwa semua amal perbuatan pasti akan dibalas, harus senantiasa menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan beramal soleh sepanjang hidupnya.
Mungkin amal kebaikan yang kita lakukan tampaknya remeh dan sepele, tapi ternyata itu menjadi penyelamat kita di akherat kelak. Atau sebaliknya, kita melakukan amal kebaikan yang banyak tapi disertai riya’, ingin dipuji orang lain, maka amal itu tidak akan melahirkan kebaikan sedikitpun bagi kita.
Bukhari Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika seorang laki-laki berjalan di satu jalan, dia melihat ranting berduri dijalan, lalu dia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuninya.”
Hadits ini mengisahkan tentang seorang laki-laki yang sedang berjalan disuatu jalan dan dia melihat ranting yang berdayun di jalan kaum muslimin, maka orang-orang yang lewat akan merasa terganggung karenanya. Laki-laki tersebut bertekad untuk memotongnya dan menjauhkannya dari jalan. Tujuannya jelas untuk menyingkirkan halangan dari jalan kaum muslimin. Allah mengampuninya dan memasukkannya kedalam surga-Nya. Rasulullah melihatnya sedang menikmati kemegahan surga dengan perbuatan ini.
Laki-laki ini beramal sedikit namun meraih pahala yang besar. Rahmat Allah sangatlah luas dan karunia-Nya yang agung. Apa yang dilakukan oleh orang ini dianjurkan oleh agama kita. Rasulullah memerintahkan agar kita melakukan hal ini. Beliau bersabda , “Jauhkanlah sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin”. Beliau memberi peringatan keras agar tidak mengganggu jalan dari jalan kaum muslimin. Beliau bersabda , “Barangsiapa yang mengganggu kaum muslimin di jalan mereka, maka dia memperoleh laknat mereka”.
Atau ada amal kebaikan seseorang yang dilakukan dengan ikhlas, tidak mengharapkan balasan kecuali mencari keridhoan Allah swt, maka Allah pun membalasnya dengan balasan yang besar.
Dikisahkan dalam siroh nabawiyah, Rasulullah saw suatu hari mengantar jenazah salah seorang sahabatnya yang meninggal dunia. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu. Kemudian Rosulullah berkata, “Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?” Istrinya menjawab, “Saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal”.
“Apa yang dikatakannya?”, “Saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” desak Rasulullah. Istri yang setia itu menjawab,”Suami saya mengatakan “Andaikata lebih panjang lagi,…. andaikata yang masih baru,….andaikata semuanya,….” Hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?”
Rasulullah tersenyum,”Sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,”. Kisahnya begini. Pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum’at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata, “Andaikan lebih panjang lagi”. Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.”
“Ucapan lainnya ya Rosulullah?” tanya sang istri mulai tertarik. Nabi menjawab,”Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata,”Coba andaikan yang masih baru yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi”.Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
“Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?” tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,”Ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata,”Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.”
Memang begitulah keadilan Allah swt. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri. Karena itu Allah mengingatkan, “Kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.”
(QS. Al Isra’:7).
Penulis: Husni Mutaqin