Dimensi Jiwa Manusia Dalam Perspektif Islam

“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah saw.

Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.

Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad-daruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah swt, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia. Maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai-nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad saw, “Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.

Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam. “Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”, (Al-Hadist).

Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang-Nya. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”,(QS 99: 27-30).

Penulis: Husni Mutaqin

Related Articles

Latest Articles