SuaraJakarta.co, Bandung – Proyek abadi perbaikan Jalur Pantura Pulau Jawa sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Indonesia. Jalur Pantura (Pantai Utara) Pulau Jawa nyaris setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri selalu diperbaiki. Tak ayal, hal ini membuat pemandangan macet di jalur yang terkenal ini menjadi pemandangan rutin tiap tahunnya. Perpindahan massa yang besar dari satu titik ke titik lain sudah pasti menambah volume kepadatan transportasi di jalan. Ditambah jalan yang masih terus diperbaiki tiap tahunnya hanya akan menambah beban kemacetan tiap tahunnya.
Ada apa dengan Jalur Pantura? Tercium dugaan korupsi dari proyek ini. Hal ini bisa mudah disadari dugaannya jika melihat anggaran besar yang digelontorkan pemerintah tiap tahunnya untuk proyek perbaikan serta pemeliharaan Jalur Pantura ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013, mencatat dana perbaikan jalur Pantura mencapai Rp1,2 triliun. Perbaikan dan pemeliharaan ini mencakup jalan sepanjang 1.300 kilometer. Pada tahun 2012 untuk penanganan jalur sepanjang 1.182 km Kementerian Pekerjaan Umum mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,03 triliun. Bagaimana dengan tahun 2011? tercatat anggaran sebesar Rp939 miliar yang dipersiapkan untuk perbaikan dalam proyek yang sama ini. Tiga Tahun terakhir, anggaran perbaikan jalan selalu tinggi dan trennya selalu naik.
Koordinator Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, memaparkan bukti yang cukup menarik. Bahwa selama empat tahun terakhir, dari total anggaran Rp 1,2 triliun, sebesar Rp 256 miliar digunakan untuk memperbaiki jalur yang sama dalam tiga tahun terakhir. Jalur yang dimaksud adalah daerah Karawang hingga Losari, Cirebon.
Masalah tidak berhenti di anggaran saja, tetapi juga di dua institusi yang punya wewenang dalam urusan perpindahan massa ini, Dirjen Bina Marga Kementreian PU dan Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Dua institusi pemerintah ini terkesan saling menyalahkan atas masalah pelik ini.
Bina Marga menyatakan bahwa tonase kendaraan yang melewati jalan melebihi kemampuan jalan tersebut. Tentang masalah kelebihan tonase ini juga disetujui oleh Kepala Bidang Penelitian Transpotasi Laboraturium Kontruksi Undip Semarang Bagus Hario Setiadji. Beliau mengatakan bahwa Jalur Pantura tersebut hanya dirancang untuk kapasitas 10 ton. Tetapi kenyataannya kendaraan yang melintas rata-rata di atas 20 ton. Masalah bertambah saat Penelitian Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM menyebutkan bahwa 75 persen angkutan berat melebihi batas maksimum tonase yang diizinkan.
Sementara pihak Perhubungan Darat, sepertinya tidak ingin disalahkan begitu saja. Perhubungan Darat menyatakan kerusakan jalan bukan hanya disebabkan oleh kelebihan tonase kendaraan. Tetapi karena kondisi struktur jalan tidak optimal. Hal ini tentu menyimpulkan secara tidak langsung Perhubungan Darat menuduh kualitas pembangunan yang dikerjakan oleh kontraktor kurang bagus serta disertai sistem drainase jalan yang tidak memadai.
Tentu jika dua instansi ini terjebak dalam perdebatan ini, maka masalah proyek abadi Jalur Pantura tidak akan selesai. Maka sebaiknya Bina Marga dan Perhubungan Darat duduk bersama untuk membangun titik temu antar keduanya dan mencari solusi bersama karena kerja sama keduanya tentu vital.
Kementerian PU dapat berperan dalam memberikan solusi bagi permasalahan proyek abadi ini degan menerapkan Performance Based Maintenance Contracting. Performance Based Maintenance Contracting adalah membuat kontrak pembangunan jalan kepada satu konsorsium sekaligus memberikan jaminan kelayakan jalan dalam jangka waktu tertentu. Logikanya, konsorsium itu pastinya enggan memperbaiki terus-terusan tiap tahunnya yang dengan kata lain menggelontorkan banyak uang. Sehingga kualitas bahan sekaligus kontruksi akan dibuat sebaik-baiknya, tanpa ada pengurangan untuk mengambil laba yang lebih besar. Jika ternyata masih rusak pun, Kementerian PU dapat menagih janji sesuai klausul di kontrak yang telah ditandatangani.
Solusi alternatif kedua adalah melakukan manajemen kereta api. Potensi kereta api kembali mencuat sebagai solusi jika melihat arus mudik besar Indonesia yang berkonsentrasi utama di Pulau Jawa. Pulau Jawa dengan kondisi geografi seperti itu, cocok untuk dilalui kereta api. Hanya saja saat ini fasilitas kereta api sekaligus jumlah armada pendukungnya belum memadai. Kabar baiknya kereta api mempunyai jalur sendiri (berupa rel) yang terpisah dari jalan transportasi semacam mobil. Daya angkut kereta api pun luar biasa.
Selain itu, sebagai solusi dari kelebihan tonase ini, Kementerian Perhubungan dapat melakukan pengalihan beban berat yang lebih dari 10 ton ke lintas laut. Sehingga permasalahan kelebihan tonase tidak akan terjadi. Sehingga ada pemetaan jalur perpindahan barang dan orang disesuaikan dengan berat maksimum sebagai indikatornya. Terlebih hal ini akan mendorong investasi besar di pembuatan dermaga dan perhubungan lintas laut yang sebenarnya sangat dibutuhkan sejak dulu bagi Indonesia. Kita sendiri tahu, kapal dapat direkayasa untuk menampung beban maksimal yang fantastis. Indonesia yang didominasi laut harus membuat kita realistis melihat sumber daya sekaligus menangkap peluang yang ada.
Tentunya alternatif-alternatif tersebut harus dilengkapi dengan ketegasan KPK dan pihak berwenang lainnya untuk segera menyelediki dugaan korupsi di Jalur Pantura ini. Butuh ketegasan dan kepastian hukum. Di samping untuk menyelamatkan uang negara, hal ini dapat memicu optimisme bersaing secara sehat dalam usaha. Serta tentu saja, kita pada akhirnya akan dapat mengucapkan selamat tinggal kepada Proyek Abadi Perbaikan Jalur Pantura Pulau Jawa.
Penulis: Muhammad Jhovy Rahadyan, Mahasiswa Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran dan Kepala Biro Bandung BEM Kema Universitas Padjadjaran 2013.