“Climate change is destroyng our path to sustainability. Ours is a world of looming challenges and increasingly limited resources. Sustainable development offers the best chance to adjust our course” Ban Ki-moon
Tahun 2012 pada kuartal waktu pertama terjadi 91 kasus banjir di Indonesia yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2011, telah terjadi sekitar 129 kasus banjir di Indonesia. Sebagiannya diikuti oleh peristiwa longsor. Gambar 1 menunjukkan distribusi kasus banjir di Indonesia dalam kurun waktu 1815 hingga 2012 yang diambil dari BNPB. Diagram tersebut menunjukkan bahwa kasus banjir paling banyak terdapat di wilayah jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Penyebab rata-rata banjir yang terjadi di wilayah di Indonesia adalah alih fungsi lahan, alih fungsi saluran air, dan jumlah intensitas hujan yang berubah serta adanya perubahan pola cuaca di Indonesia. Perubahan pola hujan yang terjadi adalah jumlah bulan hujan yang berkurang namun intensitas tetap sama, seperti pada tahun 1990an jumlah bulan hujan di Indonesia mencapai 6 bulan dengan intensitas hujan selama 6 bulan. Namun pada tahun 2013 keatas bulan hujan di Indonesia berkurang menjadi 4 bulan dengan intensitas hujan yang sama dengan sebelumnya yaitu 6 bulan. Sehingga terjadi lonjakan debit air akibat hujan yang besar dan infrastruktur perairan kita yang belum siap untuk menghadapi hal ini sehingga terjadi kelebihan air dan menyebabkan banjir.
Paradigma yang keliru hingga saat ini mengenai saluran drainase adalah bagaimana kita membuang air yang mengalir di saluran secepat-cepatnya ke hilir, sehingga apabila terjadi kelebihan air yang tertampung maka air tersebut akan meluap keluar saluran. Konsep mengenai menyimpan air dalam tanah masih belum banyak yang menanggapi. Padahal kebutuhan akan air tanah sangat tinggi, terlebih di daerah perkotaan yang memiliki jumlah penduduk yang banyak otomatis memiliki kebutuhan akan air bersih yang tinggi. Permasalahannya adalah ketika tidak ada media untuk mengembalikan air ke dalam tanah, karena seluruh air yang mengalir langsung dibuang, menyebabkan krisis air bersih dalam tanah terjadi. Pemikiran tentang saluran yang mampu mengembalikan kembali air ke dalam tanah masih belum ada hingga saat ini.
Biopori merupakan salah satu inovasi dari salah satu profesor di IPB tentang bagaimana kita mengembalikan air ke dalam tanah dan menyimpannya dengan teknologi yang mudah dan ramah lingkungan. Di sadur dari website resmi biopori (biopori.com), lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara, meningkatkan data resapan air, mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca, serta memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman dan mengatasi masalah akibat genangan air. Dalam meingkatkan daya resap air, biopori memiliki kedalaman 1 meter dan diameter 10 cm. Dengan dimensi seperti itu bidang resapan air akan bertambah sebanyak 3140 cm2. Sehingga aliran air yang masuk akan dengan cepat terserap oleh tanah.
Kembali dengan konsep mengembalikan air yang berasal dari hujan berlebih ke dalam tanah menggunakan saluran air. Biopori merupakan solusi yang penting jika di kolaborasikan dengan utulitas penyaluran air yang sudah ada. Sehingga air yang mengalir pada saluran drainase akan terserap oleh tanah dan tidak semuanya akan mengalir menuju hilir. Menurut penelitian yang telah dilakukan, biopori bisa mereduksi debit yang mengalir hingga 17%. Sehingga jika debit yang mengalir dari kota Bogor menuju Jakarta sebesar 60 m3/detik dengan konsep biopori yang dipasang di saluran air akan berkurang menjadi 49.8 m3/detik. Perubahan debit yang dapat mengurangi jumlah air yang sampai di wilayah Jakarta.
Penggabungan konsep antara saluran drainase dan biopori dapat mengurangi jumlah debit yang mengalir dari hulu ke hilir sehingga kelebihan debit akibat perubahan pola hujan dan alih fungsi saluran dapat teratasi. Pengembangan tentang desain saluran biopori dapat terus dikembangkan hingga mendapatkan efektivitas dalam mengembalikan air ke dalam tanah menjadi tinggi.
Penulis: Alfandias Seysna Putra, Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan, Institu Pertanian Bogor dan Peserta Rumah Kepemimpinan PPSDMS Regional V Bogor