SuaraJakarta.co, JAKARTA – Regenerasi politik 2014 ditutup dengan pelantikan Presiden terpilih pemenang pemilu, Ir. H. Jokowi Dodo. Berakhirnya sedasawarasa kabinet SBY mewariskan banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Diantara sekian banyak pekerjaan rumah, masalah sumber energi adalah masalah yang tak kunjung habis untuk didiskusikan. Benar saja, baru dua pekan usia kabinet Jokowi, sudah muncul polemik mengenai belanja anggaran untuk membiayai sumber energi.
Subsidi BBM yang dianggap terlalu besar bagi ruang fiskal yang kecil membuat pemerintah berencana menaikkan harga BBM demi mengobati APBN kita yang sudah terlanjur berdarah-darah. Penambahan anggaran infrastuktur dan distribusi subsidi yang (diklaim) tidak tepat sasaran, juga menjadi landasan mengapa subsidi BBM wajib dipangkas ditengah tidak adanya inovasi dalam pos-pos penerimaan APBN kita. Namun begitu, menaikkan harga BBM bukanlah solusi tunggal untuk menyelamatkan APBN. Nalar yang digunakan Pemerintah guna menghemat anggaran seringkali memunggungi kebutuhan dan harapan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Sudah selayaknya, kenaikan BBM menjadi opsi paling akhir jika memang tidak ditemukan lagi solusi pengganti penyelesaian polemik BBM.
Argumen Tak Beralasan
Pemerintah dinilai tidak bijak ketika belum apa-apa sudah mengumumkan akan menaikkan harga BBM pada 1 November sebanyak Rp 2.000–3.000 perliter. Meskipun kenaikan BBM akhirnya ditunda, namun pengumuman ini sudah terlanjur membuat masyarakat panik hingga kemudian menyebabkan terjadinya inflasi kejut (shock inflation). Harga beberapa komoditas melejit naik, penimbunan BBM marak terjadi, hingga akhirnya BBM langka dibanyak tempat. Pemerintah seyogyanya mampu bersikap lebih arif, arif dalam hal komunukasi politik dengan masyarakat dan arif dalam hal mengkaji ulang gagasan kenaikan harga BBM.
Kenaikan BBM dinilai tidak beralasan, banyak fakta yang bisa dipaparkan mengenai hal ini. Pertama, harga minyak dunia sedang turun pada kisaran USD 80 per barel, sedangkan pemerintah telah menganggarkan subsidi BBM selama 2014 sebesar Rp 246,5 Triliun dengan asumsi bahwa harga minyak dunia berada pada harga USD 105 per barel. Dengan fakta ini, pemerintah justru berpeluang dapat menurunkan harga BBM, bukan malah menaikkannya. Namun, jika (nantinya) Jokowi bersikeras menaikkan harga BBM, maka ini adalah kali pertama sepanjang sejarah bangsa kita harga BBM naik justru ketika harga minyak dunia sedang turun.
Kedua, jika pemerintah menjadikan defisit fiskal sebagai alasan menaikkan harga BBM, maka ada baiknya pemerintah mendengarkan paparan dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak) menyoal potensi pajak yang tidak terpungut. Menurut DJP potensi pajak yang tidak terpungut setiap tahunnya mencapai Rp 200-300 Triliun pertahun, belum lagi jika ditambah eksploitasi ilegal sumber daya alam yang hasilnya tidak masuk ke kas Negara. Lalu ditambah pula dengan buruknya tata kelola sumber daya kelautan, belum maksimalnya ekonomi maritim sebagai instrumen pendapatan Negara bukan pajak. Jika hal ini bisa dimaksimalkan tentu ini akan memperluas ruang penerimaan fiskal kita dan melambungkan jumlah kas Negara. Pemerintah tidak perlu lagi repot-repot memikirkan subdisi BBM yang dinilai terlalu besar menyedot uang APBN.
Ketiga, kenaikan harga BBM erat kaitannya dengan peningkatan inflasi, PHK besar-besaran, menurunnya daya beli masyarakat, berkurangnya lapangan pekerjaan dan penambahan jumlah angka kemiskinan. Bayangkan saja, hal ini justru terjadi ditengah buruknya persiapan pemerintah dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Jika tujuan dari sebuah policy adalah tercapainya kemakmuran masyarakat, maka sudah tepatkah policy yang diambil?
Keempat, pemerintah juga beralasan bahwa pemangkasan subsidi BBM dilakukan untuk menambah anggaran pembangunan infrastuktur yang saat ini kurang dari 3% PDB (padahal idealnya 5%). Faktanya, dalam lima tahun terakhir spending anggaran untuk infrastuktur selalu sisa sekitar 11% diakhir tahun. Meskipun hal ini terjadi dalam pemerintahan SBY, paling tidak ini menjadi gambaran bagaimana sulitnya pemerintah mengeksekusi anggaran infrastuktur.
Kelima, pemerintah juga dirasa tidak pantas menaikkan harga BBM selama peralihan ke sumber energi terbarukan pengganti BBM belum dilakukan secara serius dan masif. Sederhananya, jika penggunaan energi masyarakat terus bergatung kepada BBM, ada kemungkinan harga BBM akan kembali naik ketika harga minyak dunia juga naik.
Keenam, sebelum menjadi presiden, Jokowi Dodo adalah orang yang terang-terangan menolak kebijakan menaikkan harga BBM, begitupun dengan partai yang menaunginya. PDIP selalu terlihat paling vokal dalam menolak pemangkasan subsidi BBM. Jika kemudian Jokowi jadi menaikkan harga BBM, maka patut dipertanyakan untuk siapa sebenarnya Jokowi bekerja? Rakyatkah?
Memilih Solusi Cerdas
Agaknya memang, penerintah harus mencari solusi cerdas menyikapi polemik BBM, bukan hanya mengambil jalan mudah dan cenderung manja, melainkan terus mencari cara agar subsidi BBM bisa tepat sasaran tanpa harus menaikkan harganya. Jika pemerintah hanya bisa menaikkan harga BBM, maka apa signifikansi hadirnya orang-orang berpendidikan didalam kabinet?
Beberapa gagasan sepertinya dapat dijadikan pertimbangan. Gagasan Rizal Ramli misalnya, agar subsidi tepat sasaran, pemerintah dapat menurunkan nilai oktan BBM jenis premium. Nilai oktan premium di Indonesia diyakini terlalu tinggi, yakni 88. Sementara di Amerika BBM jenis serupa hanya bernilai oktan 86, bahkan di Negara bagian Colorado hanya 83. Dengan nilai oktan yang lebih rendah otomatis membuat biaya produksinya juga lebih rendah, dan diyakini dapat membuat pengguna mobil menengah keatas berhenti memakai premium bersubsidi.
Selain itu, hal lain yang secara serius harus pemerintah lakukan adalah memberantas mafia migas, mereduksi penguasaan pelaku ekonomi asing di bidang energi dalam negeri, menambah kilang minyak baru dan menyiapkan sumber energi pengganti terbarukan sebagai solusi jangka panjang mengatasi polemik BBM.
Semoga nalar yang digunakan Jokowi dalam mengambil kebijakan BBM adalah nalar rakyat, bukan nalar pemilik modal ataupun nalar politik balas budi. Karena sesuai dengan slogan Jokowi ketika berkampanye “Jokowi adalah kita, kita adalah rakyat” dan rakyat tak ingin ada kenaikkan harga BBM!
Penulis: Fikri Ismail, Peneliti Muda Center For Information and Development Studies (CIDES – ICMI)