Aku bersyukur kehidupan yang kujalani berakhir dengan kebaikan. Aku mampu mengangkat derajat adik-adikku. Mereka meraih gelar sarjana untuk modal mencari kehidupan yang lebih baik. Aku terlepas dari keterpurukan dunia. Itu semua tidak lepas dari didikan pamanku yang menggemlengku dengan kedisiplinan dan kerja keras.
**************
Aku berdiri di atas pusara yang masih merah. Gundukan tanah yang baru saja selesai diurug oleh penjaga makam. Dedaunan di sekitar pemakaman ini menari tidak peduli dengan kesedihan yang dirasakan oleh orang-orang yang berkunjung. Vionita Andara, nama yang ditulis di nisan berwarna putih. Dia meninggal dunia dua hari yang lalu di kamarnya. Polisi menemukan dua botol obat penenang dosis tinggi di sampingnya.
Aku kaget bukan kepalang ketika ditelepon salah satu anak buahku tentang meninggalnya Vionita. Wanita cantik ini membuktikan perkataannya untuk mengakhiri hidupnya. Aku meletakkan secarik kertas putih di atas makam yang masih basah ini. Aku tidak berharap dia membacanya. Tapi, aku ingin menyampaikan rasa yang selama ini terpendam. Aku menulis di atas kertas itu beberapa kalimat yang sebenarnya sudah lama ingin kusampaikan.
“Violin, aku adalah si pandir yang hidup di tengah gurun Sahara. Cinta yang kamu tawarkan adalah secawan air yang dingin dan menyejukkan. Aku layak dibilang bodoh, karena begitu panasnya terik matahari, dan kondisiku yang mendekati ajal, aku menolak pemberian air segar itu. Bahkan aku menampiknya, sehingga cawan itu jatuh, pecah dan airnya pun terbuang percuma. Aku sadar kini, bahwa matahari yang panas, bisa dihilangkan jika dahaga di tenggorokanku disiram air yang segar. Dahulu, aku adalah manusia yang ditinggal pergi oleh ayahku. Seseorang yang seharusnya menjadi tulang punggung hidupku, namun dia pergi begitu saja. Akibat perbuatan ayahku, aku dan adik-adikku juga kehilangan ibu yang sangat aku cintai. Aku takut mencintaimu, Violin. Aku takut mengecewakanmu di kemudian hari. Aku tahu, kamu tidak terlalu banyak berharap pada diriku. Tapi, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak rela jika kamu tersakiti akibat perbuatanku kelak.”
Air mataku menetes pelan-pelan. Aku menarik napas panjang, sekedar melepas beban di pundakku. Angin bertiup tidak kencang, tapi tubuhku seperti melayang. Aku beringsut pergi meninggalkan Violin yang sudah damai di tempat peristirahatannya. (*)