Di Ujung Jalan Edelweiss

Aku tertegun. Surat elektronik yang ditulis oleh pujangga wanita. Aku teringat pepatah, ketika seseorang jatuh cinta maka dia akan menjadi penyair. Sungguh benar pepatah itu. Vionita sudah membuktikan dirinya mampu bersyair, ketika dia mabuk kepayang oleh asmara. Aku jadi ingat ketika wanita itu memohon kepadaku untuk dinikahi.

Malam itu, di ujung Jalan Edelweiss, Vionita mengeluarkan cincin emas, dan diberikannya kepadaku.

“Sam, ambil cincin ini. Berikan kepadaku, dan katakan, will you marry me.”

Rupanya Vionita sudah kehilangan akal sehatnya. Dia nekat melakukan itu karena sudah tidak tahan ingin segera dinikahiku. Dinginnya malam berubah menjadi panas. Tetesan keringat jatuh satu-satu dari keningku lalu meluncur ke dagu, dan akhirnya membasahi tanah yang kupijak. Aku hanya bisa diam dan tetap membisu.

“Sam, aku ingin memilikimu. Aku berharap cintamu.”

Vionita berujar lirih. Ada cahaya di kedua matanya. Meski lampu tidak menerangi seluruh jalan, namun aku masih bisa melihat kelopak mata Vionita yang dihiasi pelangi duka. Tidak lama kemudian bahunya terguncang perlahan. Wanita ini terisak pelan-pelan, lalu dia menangis tersedu sedan.

“Sam, nikahi aku. Aku ingin menjadi bagian hidupmu,” katanya dengan meninggikan suara.

Beberapa orang yang berdekatan dengan kami menoleh sesaat. Tapi, tidak lama kemudian, mereka kembali kepada kesibukan masing-masing. Tempat ini memang biasa dikunjungi sepasang muda-mudi yang ingin mencari suasana berbeda untuk menghabiskan malam.

“Sam, mengapa kamu diam?”

Aku benar-benar mematung. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutku.

“Kamu kejam, Sam. Aku siap mengakhiri hidup ini jika kamu menolak hidup bersamaku.” Vionita bangkit dari duduknya. Dia terguncang dan setengah berlari meninggalkanku yang masih diam seribu bahasa. Malam itu menjadi akhir dari pengharapan Vionita. Aku tetap pada pendirianku untuk menunda pernikahan.

Tiba-tiba kenangan ketika aku masih remaja kembali melintas dalam pikiranku.

“Pak, jangan tinggalkan kami. Anak-anak bagaimana, Pak? Sekolah mereka nanti bagaimana?”

Suara ibu meraung-raung di pintu masuk. Kenangan masa lalu yang begitu membekas dalam diriku. Ayahku tidak peduli meski ibu sudah berlutut sambil menangis kencang. Pria itu meninggalkan kami karena memilih hidup bersama wanita lain yang umurnya lebih muda. Aku ingat betul. Aku bersama tiga saudaraku hanya mengurung diri di dalam kamar. Adik bungsu kami, Kevin, menangis keras karena merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Aku yang dirundung kebingungan, berusaha mendiamkannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan waktu itu.

Ibu mulai sakit-sakitan karena tidak kuasa menerima cobaan yang begitu berat. Wanita yang telah melahirkan aku dan adik-adikku ini akhirnya meninggal dunia sejak dua bulan ditinggal ayah. Kami pun hidup semakin tidak jelas. Hanya kebaikan saudara-saudara ibu yang membuat kami bertahan.

Ada duka yang begitu mendalam akibat kepergian ayah. Aku digembleng oleh kehidupan yang tidak mengenal belas kasih. Aku ditempa oleh kerasnya dunia. Sebagai anak sulung, aku dididik untuk bertanggungjawab dan memahami bagaimana berterimakasih kepada orang yang sudah mengasuh kami. Aku tidak mengenal cinta dan kasih sayang. Kedisiplinan dan kerasnya kehidupan yang kujalani, menjadikanku sebagai sosok yang tegas.

Related Articles

Latest Articles