Di Ujung Jalan Edelweiss

Vionita menghela napas. Ada sesal di matanya yang indah. Ada harapan di balik rona mukanya yang merah. Sesal dan harapan adalah dua hal yang bisa ditemui di wajah wanita yang tengah dirundung cinta.

“Aku tunggu kamu di ujung Jalan Edelweiss malam ini,” kata Vionita sambil bangkit dari duduknya.

Aku menghela napas singkat. Sepertinya persoalan ini tidak mudah untuk dibiarkan begitu saja. Edelweiss adalah nama jalan yang biasa aku lalui bersama Vionita. Di jalan itu, kami sering menghabiskan waktu sepulang kerja. Melepas penat dari rutinitas harian yang menyedot tenaga. Sambil menyeruput wedang jahe menjelang tengah malam. Duduk di pinggir jalan menikmati cahaya rembulan. Di tempat ini pula Vionita mencurahkan perasaannya kepadaku pertama kali.

“Sam, kamu kok belum beristri?” Vionita melempar pertanyaan yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

“Hemm, aku belum menemukan yang cocok.”

“Kok bisa. Kamu ganteng, mapan, memiliki karir yang cemerlang. Pasti banyak wanita yang suka sama kamu?”

Aku terdiam saat itu. Vionita mencari sesuatu di balik mataku. Dia seperti berharap ada sesuatu yang akan kukatakan.

“Sam, aku suka kamu,” ungkap wanita ini dengan lirih.

Aku terkesiap. Darahku mengalir dengan kencang. Vionita menggenggam jemariku dengan lembut. Tidak ada sesuatu katapun yang keluar dari mulutku. Aku hanya membisu. Malam itu menjadi kenangan yang sulit berlalu begitu saja. Ah, Vionita. Apalagi yang akan kamu katakan di Jalan Edelweiss? Aku membatin. Pikiranku melayang tidak tahu apa yang harus kujelaskan nanti malam.

****************

Sepucuk surat elektronik masuk ke dalam email di blackberry-ku. Akun pengirim email itu adalah violin_vionita. Aku membukanya.

“Sam, sudah lama hati ini membeku. Aku mencari cara agar kristal di hatiku bisa pecah dan mencair. Aku wanita, Sam. Membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang pria. Mungkin bagi kamu, aku adalah teman biasa. Tapi, aku menganggap hubungan kita ini tidak biasa. Tidak bisakah kamu merasakan getar-getar hatiku yang membiru? Aku terengah-engah mengejarmu, Sam. Aku mengagumi bukan hanya karena fisik dan kekayaanmu. Lebih dari itu. Aku merasa engkau adalah belahan jiwaku yang hilang dan selama ini aku cari. Sam, kamu adalah kenikmatan bagiku. Dan, aku berharap kelak aku menjadi bagian dari kenikmatanmu. Aku mabuk kepayang, Sam. Percayalah, kamu adalah indahnya cintaku, kemilaunya nafsuku dan semerbaknya harum asmaraku.”

Related Articles

Latest Articles