Di Ujung Jalan Edelweiss

Aku hanya tersenyum sambil memainkan segelas wine dalam sebuah makan malam di hotel berbintang lima di Jakarta. Ah, Vionita, aku ingin sekali menerima dirimu. Aku tidak mungkin menjalani hidup ini seorang diri. Tapi, aku khawatir kecantikanmu menjadi beban bagi diriku. Aku tidak rela berbagi keindahanmu dengan yang lain. Aku tidak siap ada pria lain yang menikmati keindahan tubuhmu walau hanya pandangan sesaat.

Masih ada yang lain, Jessica Cinthya Maureen. Pernah mendengar kulit bidadari di surga selembut sutra? Atau kulit bidadari yang sangat putih hingga bisa dilihat aliran darahnya? Nah, kira-kira Jessica seperti itu. Mata mana yang tidak nanar melihat kulit yang demikian menawan.

Ada yang berseloroh, “Jessica merupakan bidadari yang didahulukan di dunia. Dia adalah zamrud yang disimpan dengan hati-hati di tempatnya. Pria yang mendapatkannya pasti beruntung.”

Aku pekerja keras, dan aku pria biasa yang membutuhkan belaian wanita. Siapa yang harus disalahkan ketika aku memilih karir ketimbang jodoh. Mengapa harus dianggap keliru jika kesibukan telah membuat sirna fantasi-fantasi percintaan? Apakah dianggap tidak normal jika aku, si pria mapan, menunda pernikahan, karena target-target pekerjaan yang harus ditunaikan? Aku menyukai kalian semua wahai gadis-gadis pemburu kemapanan. Tapi aku memilih yang berbeda.

Aku mulai duduk di kursi dan membuka laptop. Secangkir kopi hangat sudah tersedia untuk dinikmati. Meja kerja yang dipenuhi berbagai peralatan kantor. Rutinitas siap kujalani.

“Sam, klien kita meminta revisi konsep iklan yang kemarin sudah kita tawarkan. Ada yang tidak sesuai dengan motto perusahaan mereka,” suara jelita Vionita tiba-tiba hadir di pintu masuk.

Si violin ini mendekati mejaku, dan langsung duduk di kursi. Merekah sekali senyumnya di balik gincu merah yang senantiasa dia poles setiap hari. Dia menjabat sebagai Senior Account Executive yang berhubungan dengan klien. Keharusannya untuk tampil bak dewi cinta saat memaparkan tawaran kepada bos-bos perusahaan. Dia adalah darah untuk memompa denyut perusahaan agar senantiasa mengalir.

“Saya sudah bicarakan ini dengan direktur pemasaran di sana. Revisi yang kita lakukan tidak terlalu besar. Nanti akan kita tangani,” aku menjawab sambil menatap wajahnya.

Vionita tidak merespon apa yang sudah kukatakan. Cukup lama dia terdiam, namun kami berdua saling menatap. “Kok diam?” Aku bertanya.

“Sam.”

“Ya?”

“Sampai kapan, Sam?”

“Apanya?”

“Sampai kapan kamu berpura-pura?”

“Aku berpura-pura?”

“Kenapa kamu nggak mengerti juga?”

“Aku nggak ngerti maksudmu?”

Related Articles

Latest Articles