Waspadai Agresivitas RRT di Laut China Selatan

Oleh: Arya Sandhiyudha, Ph.D, Pemerhati Politik Internasional

  • Indonesia harus memberikan atensi khusus terhadap perkembangan agresivitas RRT di Laut China Selatan demi menjaga kedaulatan maritim dan stabilitas keamanan kawasan. Bukan hanya sebab insiden teraktual, namun adanya tren kecenderungan aktivitasnya menjadi gangguan kedaulatan di masa depan.

Insiden Teraktual

  • Pada 17 juni 04.24 WIB, salah satu bukti terbaru agresitivitas yang telah menembus batas kewajaran.
  • Diketahui bersama, terdapat 10 sampai 12 kapal ikan asing asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menembus perairan Natuna, di ZEE indonesia. Beberapa kapal ikan asing tersebut melempar jaring dan melakukan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing. Sehingga KRI Indonesia merespon dengan pengejaran. Kita mengetahui, Kapal TNI AL telah meminta kapal berhenti dan mematikan mesin, baik piranti komunikasi ataupun pengeras suara. Namun, Kapal ikan asing malah menambah kecepatannya! Akhirnya, tembakan ke udara musti dilakukan. Dilaporkan, satu kapal akhirnya berhasil ditangkap. Di dalamnya ada beberapa ABK, namun dengan kondisi piranti komunikasi yang rusak, terindikasi sengaja dirusak oleh mereka sendiri.

Respon TNI Tepat, Prosedural dan Proporsional

  • Hemat kami, ini semua telah dilakukan berdasar dengan prosedur. Semua dilakukan juga dalam rangka penegakan hukum di wilayah kedaulatan ZEE Indonesia. Apa yang dilakukan TNI AL sudah sangat tepat dan proporsional. TNI AL telah melaksanakan law enforcement dalam menjaga hak berdaulat di ZEE Indonesia.
  • Beredar tuduhan ABK yang terluka, konfirmasi tersebut tidak berdasar sebab faktanya sebagaimana telah dijelaskan pihak pemerintah tidak ada yang terluka.

Faktor Potensi Ancaman Stabilitas Kawasan

  • Ada dua faktor kenapa atensi khusus harus Indonesia berikan terhadap agresivitas di Laut China Selatan.
  • Pertama, Indonesia memang bukan merupakan Claimant state dalam konteks Laut China Selatan (LCS), disebabkan Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim terhadap fitur atau kepulauan di LCS. Ini harus dimaknai bahwa Indonesia secara teritorial tidak ada sengketa, karena semua titik terdaftar ke PBB dan diperkuat oleh UU kita. Selain itu, dalam menarik garis, Indonesia juga secara kokoh menggunakan dasar UNCLOS. Atas dasar UNCLOS yang merupakan hukum internasional yang absah, Indonesia hanya memiliki overlapping claim dengan Vietnam dan Malaysia yang juga menarik garis dengan cara yang sama-sama berbasis UNCLOS.
  • Maka, menjadi menarik dan penting digarisbawahi apabila ada negara seperti RRT yang mengklaim teritorial, namun menarik garis batasnya dengan tidak didasari oleh hukum internasional yang berlaku (UNCLOS). Seperti semua kapal asal RRT jelas ditangkap di wilayah laut Indonesia, di wilayah ZEE Indonesia. Padahal overlapping claim Indonesia hanya dengan Malaysia dan Vietnam. Lalu atas dasar apa kapal asal RRT terus berulang menembus wilayah, sementara daratannya sangat jauh dari wilayah kedaulatan Indonesia? Kalau selama ini RRT hanya menjawab dengan alasan itu merupakan ordinary operation di traditional fishing zone yang didasari historical claim yang beribu tahun yang lalu. Sungguh absurd, klaim yang diambil dari zaman ketika dunia sangat berbeda tatanannya dengan situasi sekarang.
  • Dinamika LCS harus dilihat dalam perspektif penghormatan terhadap Hukum Internasional. Sebab, dunia ini diatur berdasarkan Hukum Internasional, tidak berdasarkan klaim berbasis sejarah. UNCLOS berdasarkan piagam/chapter, tidak bisa dianulir fakta sejarah. Sebaliknya, UNCLOS dapat menganulir fakta sejarah, terlebih fakta sejarah era pra-negara bangsa ribuan tahun lalu. Rakyat Indonesia akan mendukung apabila pemerintah bersikap tegas dan mempertanyakan berdasarkan basis apa klaim RRT.
  • Kedua, persoalan arbitrase diyakini tidak akan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara negara-negara claimant. Pertama, status nine-dash lines sendiri tidak jelas dasar konstruksi argumentasinya; Kedua,- klaim terhadap pulau-karang- sangat berbeda satu dan lainnya, sementara ada fitur-fitur baru yang dibangun dalam perkembangannya; Ketiga, reklamasi yang dilakukan disorot mengganggu isu lingkungan hidup. Artinya, harapan satu-satunya penyelesaian tumpang tindih claimant states secara realistis harus melalui negosiasi diantara mereka. Selama negosiasi tidak tercapai, LCS tidak akan stabil dan kawasan tidak akan sepenuhnya aman. Ini artinya ancaman kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia, Asia Tenggara, juga Indonesia.

Potensi Tumpang Tindih Klaim Kedaulatan

  • Rabu 9 Juni 2016, Duta Besar RRT untuk Indonesia, Xie Feng, menulis artikel berjudul “Arbitrase berbahaya sengketa Beijing-Manila” di Jakarta Post. Diantara pointers utama dalam tulisan tersebut yang intinya mengatakan RRT secara tegas RRT tidak akan peduli apapun keputusannya. Ini tidak akan mengubah keyakinan RRT akan sejarah dan fakta sebagai pemilik sah kedaulatan atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya. Ini juga tidak akan melemahkan tekad RRT untuk menjaga hak, kepentingan, serta kedaulatan maritim RRT, dan tidak akan mempengaruhi kebijakan dan posisi RRT dalam penyelesaian sengketa melalui negosiasi langsung dengan RRT.
  • Kalau semacam ini statement RRT, jelas terdapat potensi di masa depan tumpang-tindih klaim dalam batas kedaulatan maritim dengan Indonesia. Artinya, isunya bukan sekedar kapal-kapal nelayan yang melintas batas kedaulatan maritim Indonesia. Maka, rakyat perlu terus mendukung dan mengawal sikap pemerintah untuk terus konsisten ( persistent objector ) terhadap batas kedaulatan maritim Indonesia, agar di masa depan tidak ada celah klaim RRT di LCS yang merugikan kita.

Related Articles

Latest Articles