Oleh: Bambang Prayitno
SuaraJakarta.co, JAKARTA – Masyarakat Jepang menyebutnya ‘Karoshi’. Publik dan pemerintah di China menyebutnya dengan nama ‘Guolaosi’. Sementara orang-orang Korea Selatan menyebutnya dengan istilah ‘Gwarosa’. Ketiganya mengandung pengertian yang sama; tentang fenomena pekerja yang meninggal dunia karena kecapekan saat bekerja (overwork) dan terlalu banyaknya pekerjaan.
Pemerintah dan lembaga penelitian di Jepang mulai menggunakan istilah ‘Karoshi’ sejak 1969, ketika terjadi peristiwa kematian seorang pegawai pengiriman koran karena stroke yang disebabkan ‘overwork’. Pekerja yang tak disebutkan namanya itu, kemudian menjadi salah satu latar belakang berkembangnya penelitian tentang ‘Karoshi’.
Adalah Katsuo Nishiyama, Profesor di Departemen Kedokteran Pencegahan di Universitas Ilmu Kedokteran Shiga di Otsu, Jepang bersama Jeffrey V Johnson, Profesor Rekanan Ilmu Sosial dan Perilaku di Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Sekolah Kebersihan dan Kesehatan Masyarakat The Johns Hopkins yang mengembangkan penelitian tentang Karoshi dan membukukan dalam sebuah jurnal kesehatan dengan judul ‘Karoshi-Death From Overwork: Occupational Health Consequences
of the Japanese Production Management’.
Menurut mereka, dari data yang didapat sejak 1969 hingga 1997, dimana jurnal ini diterbitkan, setidaknya ada beberapa penyebab medis utama Karoshi (kematian karena kerja berlebihan). Yang utama adalah serangan jantung dan stroke, termasuk perdarahan subaraknoidal (18,4%), perdarahan serebral (17,2%), trombosis atau infark serebral (6,8%), infark miokard (9,8%), gagal jantung (18,7%), dan penyebab lainnya (29,1%).
Sebagai catatan, selain Karoshi, Pemerintah Jepang juga menemukan fenomena baru yang disebut Karojisatsu, atau bunuh diri karena terlalu banyak pekerjaan dan kondisi kerja yang penuh tekanan. Karojisatsu juga telah menjadi masalah sosial di Jepang sejak paruh kedua tahun 1980-an. Jam kerja yang panjang, beban kerja yang berat, kurangnya kontrol pekerjaan, tugas rutin dan berulang, konflik interpersonal, imbalan yang tidak memadai, ketidakamanan kerja, dan masalah organisasi dapat menjadi bahaya psikososial di tempat kerja.
Apakah dunia medis Amerika dan Eropa mengenal ‘Karoshi’? Jawabannya, iya. Di sana, juga sudah lama muncul perdebatan tentang ‘death by overwork’. Di Amerika Utara dan Eropa Barat sejumlah penelitian telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan yang tinggi (permintaan produksi yang tinggi dan tingkat kontrol dan dukungan sosial yang rendah) dan penyakit kardiovaskular.
Karoshi juga diawali kelelahan. Kelelahan karena hiperventilasi dan hipoksia. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hiperventilasi: stres fisiologis, kecemasan atau gangguan panik, ketinggian, cedera kepala, stroke, gangguan pernapasan seperti asma, pneumonia atau sindrom hiperventilasi.
Sejak kasus pertama ‘Karoshi’, lembaga penelitian kesehatan di Jepang kemudian semakin mantap menyimpulkan bahwa ‘death by overwork’ atau kematian mendadak akibat pekerjaan, dimulai dari berbagai hal; pertama, kerja tanpa shift. Kedua, peningkatan beban kerja. Ketiga, target pekerjaan yang harus dicapai. Keempat, kerja yang berlebihan ditengah kondisi kesehatan pekerja yang sudah lebih dulu buruk.
Hingga kini, Pemerintah Jepang telah mengusahakan berbagai hal untuk mengurangi resiko ‘Karoshi’ dan ‘Karojisatsu’. Seperti pengaturan jam kerja yang lebih teratur, pengaturan fasilitas pegawai, kompensasi kesehatan, peningkatan gaji, hingga layanan dan fasilitas konseling dan kesehatan pekerja.
Sementara di China, asosiasi pekerja China dan kritikus buruh di sana masih berusaha melawan ‘Jiujiuliu Gongzuo zhi’ atau jadwal kerja de facto yang biasa dipraktikkan di seluruh China. Jiujiuliu Gongzuo zhi atau ‘Sistem 996 Jam Kerja’ adalah aturan di China dimana karyawan bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam, 6 hari perminggu. Upaya ini dilakukan demi menghilangkan ‘Guolaosi’ yang juga terus terjadi di China. Maret 2019 kemarin, gerakan nasional melawan ‘Sistem 996 Jam Kerja’ resmi diluncurkan di China dalam bentuk kampanye online.
Sekali Lagi, Belajar
Perlukah membuat sebuah Tim Khusus atau Tim Pencari Fakta untuk menginvestigasi 500 korban jiwa petugas pemilu kita? Sangat diperlukan. Bahkan kalau bisa dibuat setransparan mungkin hasil investigasinya. Apakah ada kemungkinan klenik yang turut andil dalam kematian? Saya tidak bisa berkomentar. Karena bukan bidang saya. Sebagaimana ‘death by overwork’ yang juga disampaikan oleh banyak kalangan. Cerita saya tentang ‘death by overwork’ di Jepang dan China hanya untuk gambaran bahwa analisa itu. Mungkin saja.
Gagasan yang lebih maju adalah; sudah saatnya kita belajar untuk mengevaluasi bersama. Cukup sudah korban jiwa petugas pemilu kita. Mari belajar dengan kebesaran jiwa kita untuk memastikan pemilu di masa depan bisa lebih baik.
Misalnya saja, dengan menduplikasi keberhasilan penerapan e-voting di Brasil. E-voging yang awalnya untuk mengurangi fraud dalam tabulasi hasil pemilu ternyata justru membuat semua pihak baik penyelenggara maupun pemilu di sana optimis dengan masa depan pemilu di Brasil.
Brasil hampir mirip dengan kita. Jumlah voternya mendekati jumlah voter Indonesia. Pilihan calegnya, kombinasi sistem multipartai dengan proporsional terbuka. Kata media, surat suaranya luar biasa besar, seperti di Indonesia. Ini menyebabkan proses saat memberikan suara dan penghitungan begitu rumit, makan waktu lama dan harus melibatkan banyak orang. Juga rawan manipulasi.
Setelah e-voting diberlakukan, sekitar 400 ribu mesin e-voting digunakan dalam pemilu di Brasil, semua problem pemilu yang mereka hadapi pun pupus. Dan hanya dalam hitungan menit setelah TPS ditutup, hasil pemilu sudah bisa diketahui.
Masih berduka dengan meninggalnya ratusan petugas pemilu kita. Susah cukup. Hentikan. [•]