Oleh: Bambang Prayitno
SuaraJakarta.co, JAKARTA – Menurut World Factbook keluaran CIA (Central Intelligence Agency), yang telah mengkompilasi data dari 226 negara pada 2017, angka kematian kasar (crude death rate) penduduk seluruh dunia rerata antara 1,5-15 kematian di setiap 1000 orang setiap tahunnya. Negara yang tercatat mengalami banyak kematian setiap 1000 orang adalah Lesotho dengan record terakhir, 15 kematian. Yang terendah adalah Qatar.
Lesotho berada di Afrika Selatan. Jumlah penduduknya hanya 2,1 juta orang pada tahun 2018. Human Development Index (HDI)-nya termasuk di zona merah. Artinya; layanan kesehatan, gizi, standar hidup dan harapan hidupnya memang belum memenuhi standar dunia. Berbeda jauh dengan Qatar. Negara kecil di dekat Teluk Persia itu punya HDI tinggi. 0,85. Termasuk tertinggi di dunia.
Angka Crude Death Rate (CDR) berhubungan erat dengan situasi ekonomi politik negara setempat. Kerapuhan, konflik, kemiskinan dan hutang, oleh World Bank dijadikan acuan ukuran. Tapi ukuran itu tidak baku. Indonesia sendiri, berada di kisaran 6,5 kematian per 1000 orang. Negara yang bersentuhan langsung dengan ketegangan dan konflik seperti Israel dan Mesir malah punya CDR lebih baik (5,2 dan 4,6).
Tapi secara garis besar, faktor pendorong kematian (promortalitas), itu dibagi menjadi lima penyebab besar; pertama, adanya wabah penyakit seperti demam berdarah, flu burung dan sebagainya. Kedua, adanya bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan sebagainya. Ketiga, kesehatan serta pemenuhan gizi penduduk yang rendah. Keempat, adanya peperangan, kecelakaan, dan sebagainya. Dan kelima, tingkat pencemaran yang tinggi sehingga lingkungan tidak sehat.
Berdasar rata-rata data kematian penduduk dunia, jika kita bandingkan dengan jumlah seluruh manusia di muka bumi (via data The World Count detik ini: 7.664.016.026), maka diperkirakan ada sekitar 157.538 manusia yang meninggal setiap hari. Dengan hitungan yang sama (angka tengah dari nilai CDR 6,5), maka ada potensi atau kemungkinan 2.400 penduduk Indonesia yang meninggal setiap harinya. Sekali lagi, kira-kira.
Lalu, bagaimana dengan Pemilu 2019 di Indonesia yang telah memakan korban meninggalnya 474 petugas pemungutan suara (KPPS) dan petugas lain (kepolisian dan lain-lain) dan jumlah yang sakit sebanyak 3.788 orang dalam rentang antara 18 April hingga 3 Mei 2019 (16 hari)?. Mari kita bedah.
Pertama, apakah data CDR bisa jadi patokan?. Rasanya sulit. Karena itu berdasar angka yang tercatat tahun sebelumnya dan perkiraan rata-rata. Data CDR sulit untuk menjadi alat pembenar dari insiden kematian beratus anggota KPPS dalam satu momen tertentu.
Kedua, berdasarkan penyebab utama kematian di Indonesia dan menghubungkannya dengan penyebab kematian petugas KPPS. Sebenarnya, angka harapan hidup (Life Expentancy) orang di Indonesia cukup tinggi. Antara 75-77 tahun. Kalau mengacu pada data BPS, angka harapan hidup kita ada di angka 71,1 tahun. Artinya, orang di Indonesia cukup punya potensi untuk berusia panjang.
Tapi memang, ada beberapa potensi gaya hidup, penyakit, yang menjadi penyebab besar kematian di Indonesia. The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dari University of Washington melakukan penelitian yang berkolaborasi dengan peneliti Indonesia, dan menemukan 10 penyebab utama kematian di negeri kita.
Daftarnya mulai dari penyakit Jantung, Stroke, Diabetes, Tuberkulosa (TBC), Sakit pinggang bawah dan nyeri leher, komplikasi disebabkan kelahiran prematur, masalah yang berhubungan dengan panca indra, cedera dan kecelakaan lalu lintas, penyakit kulit, dan penyakit yang berhubungan dengan diare dan pencernaan. Sebagai catatan, penelitian ini dilakukan pada 2016.
Lalu, adakah hubungannya dengan kematian ratusan petugas KPPS dalam Pemilu kali ini? Jawabannya, ternyata ada.
Kalau kita membaca secara acak berbagai media pemberitaan yang mengabarkan penyebab kematian petugas KPPS, faktor utama adalah kelelahan. Tapi ada faktor lain yang ternyata telah mampu diprediksi oleh penelitian tersebut. Kebanyakan petugas yang meninggal karena memiliki penyakit bawaan (jantung, diabetes) dan faktor daya tahan fisik karena bergadang (lelah, sakit nyeri di leher dan tubuh, stres, metabolisme yang terganggu).
Artinya, berdasarkan penelitian, memang orang Indonesia punya batasan terkait daya tahan fisik. Memaksakan bergadang tanpa istirahat dan memaksakan otak dan panca indera lain bekerja lebih dari 24 jam tanpa istirahat dan tidur, bisa disimpulkan sebagai jalan utama menuju kematian ratusan petugas pemilu kita.
Atau, barangkali, banyaknya korban jiwa dalam pemilu kita, disebabkan oleh beberapa faktor promortalitas; yakni bencana nasional dan faktor lingkungan TPS yang tidak sehat?.
Ketiga, berkaca pada sejarah dan peristiwa pemilu di seluruh dunia. Sepanjang sejarah pemilu di dunia, hampir tidak ada pemilu yang menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak panitia dan penyelenggara. Atau yang jatuh korban jiwa dari penyelenggara saat proses perhitungan suara sedang berlangsung.
2017, Honduras. Sekitar 11 orang tewas dan 15 lainnya luka-luka dalam demonstrasi dan bentrokan di Honduras pascapemilu. Situasi yang memburuk ini terjadi lantaran capres petahana Juan Orlando Hernandez dinyatakan menang atas Salvador Nasralla, pemimpin oposisi yang memimpin Alliance, dengan selisih tipis 1,6 persen suara.
Desember 2018, Kongo. Sebanyak 4 orang tewas, termasuk seorang petugas kepolisian dan seorang pejabat komisi pemilihan umum Kongo di provinsi Kivu Selatan, pada akhir Desember. Kerusuhan terjadi ketika warga Republik Demokrasi Kongo memberikan suara dalam Pemilihan Presiden.
Februari 2019, Nigeria. Tercatat ada 35 orang tewas saat bentrok antar pendukung selama kampanye Pilpres berlangsung dan kekerasan sipil pascapemilu. Calonnya, Presiden Muhammadu Buhari, mantan penguasa militer yang menggulingkan petahana dalam pemilu 2015. Saingan utamanya Atiku Abubakar, mantan wakil presiden.
April 2019, India. Tercatat, ada 7 korban tewas karena bentrokan antara pengikut partai politik India yang tengah bersaing. Bentrokan yang terjadi hanya di beberapa tempat saja. Bentuknya perkelahian massal. Tapi ada juga dengan kekerasan bersenjata oleh pemberontak. Lima orang tewas ketika sebuah bom meledak di pinggir jalan wilayah negara bagian Chattisgarh.
Negara-negara lain, hatta yang rentan konflik, juga mengalami korban jiwa saat pemilu. Tapi bukan saat perhitungan. Dan korbannya bukan petugas yang sedang melakukan perhitungan suara.
Dalam catatan sejarah kekinian, negara yang rakyatnya banyak tewas setelah pemilu berlangsung, mungkin hanya Kenya. Menurut berbagai sumber, misalnya Election Guide, pada 2007, sekitar 1.300 orang penduduk Kenya meninggal dan 600.000 lainnya mengungsi akibat penyerangan kepada suku-suku yang dianggap berseberangan dalam pemilu.
Indonesia 2019 bukan Kenya 2007 yang sedang konflik. Indonesia negara damai. Dengan jumlah 474 jiwa yang meninggal saat proses perhitungan suara, maka Indonesia bisa dianggap sebagai negara dengan korban jiwa pemilu terbesar di dunia.
Sederhana, Gembira dan Berkualitas
Indonesia termasuk negara yang sangat rumit proses pemilunya. Ben Bland, mantan koresponden untuk Financial Times dan Direktur Proyek Asia Tenggara di The Lowy Institute, sebuah lembaga think tank kebijakan internasional yang independen dan non-partisan yang berlokasi di Sydney, menulis sebuah laporan dalam judul ‘The World’s Most Complicated Single-Day Election Is a Feat of Democracy’.
Dengan lugas, Ben menyatakan bahwa pemilu kita adalah pemilu yang sangat ‘complicated’. Mulai dari distribusi logistik, proses pencoblosan yang sangat menyulitkan pemilih, hingga perhitungan dan input data hasil pemilihan yang masih menggunakan cara manual. Semua serba sulit. Serba ribet. Kate Lamb, jurnalis The Guardian menurunkan laporan dengan tulisan garis tebal tentang pemilu Indonesia: ‘World’s most complex one-day elections’.
Keluhan soal betapa rumitnya proses pencoblosan suara dalam Pemilu 2019 ini, tak hanya datang dari analis dan jurnalis asing. Tapi semua pihak dalam negeri, mulai Wakil Presiden, penyelenggara tingkat lokal, petugas, pengamat politik, dan politisi yang sudah bertahun-tahun menggeluti proses pemilu juga menyimpulkan hal yang sama; ini pemilu yang rumit.
Setidaknya, ada dua tempat berkaca kita dalam proses pemilu. Pertama, pemilu di negara-negara dengan Indeks Demokrasi (Democracy Index) terbaik di dunia dimana prasyarat proses elektoral yang berkualitas, akuntabel dan legitimate menjadi syarat derivasinya. Kedua, negara-negara yang melaksanakan pemilu dengan jumlah voter setara atau lebih banyak dibandingkan Indonesia.
Kesimpulan dari pelajaran pemilu di negara-negara kategori pertama seperti Norwegia, Swedia dan Denmark; atau negara-negara kategori kedua seperti Brasil, Amerika Serikat dan India yang pemilihnya kurang lebih 930 juta pemilih, kesimpulannya sama; proses pemilu mereka dibuat sangat sederhana, tidak membuat bingung pemilih dan membuat pemilih puas dengan pemilu.
Penutup
Sangat banyak ide dan pelajaran tentang bagaimana membuat sistem pemilihan umum yang mudah, menyenangkan tapi legitimate. Mulai dari pemilihan berjenjang dalam beberapa tahap atau waktu penyelenggaraan berdasarkan zonasi (wilayah). Juga ide pemilihan umum dengan cara e-voting dan pemilu dengan menggunakan electronic voting machine (EVM). Atau ide kekinian yang menggunakan aplikasi terenkripsi untuk memasukkan hasil pemilihan di TPS yang hanya bisa di masukkan datanya oleh petugas dan saksi, sesaat setelah pemilihan.
Ide soal pemilu yang lebih baik dan berkualitas sangat banyak. Kebanyakan datang dari para pemilih dan warga yang antusias dengan masa depan kualitas demokrasi kita.
Tapi banyak juga yang berharap kita masih menerapkan sistem pemilihan umum dengan cara manual yang melelahkan. Karena justru di sinilah lobang untuk membayar pemilih, mengubah hasil suara, melakukan negosiasi dengan petugas perhitungan suara, melakukan praktik jual beli suara, masih bisa dilakukan.
Turut berduka dengan bencana nasional yang sedang terjadi. Semoga ada yang mau bertanggungjawab. [•]