Sekda Saefullah, BPKD Heru, dan perselingkuhan politik Ahok

Perhelatan Pilkada Jakarta semakin hari semakin memanas menjelang semakin dekatnya waktu pendaftaran pasangan calon pilgub Ibukota. Selain petahana Ahok yang sudah memastikan untuk maju kembali dgn dukungan koalisi partai serumpun (Hanura, Golkar, dan Nasdem), dan Partai Gerindra juga sudah memastikan akan mengusung kadernya sendiri Sandiaga Uno, walau keduanya belum jelas akan berduet dengan siapa, nyaring terdengar bahwa bilamana tanpa dukungan PDIP maka Ahok akan tetap berpasangan dengan Heru yg saat ini menjabat sbg kepala BPKD DKI.

Pasangan Ahok-Heru ini sdh lama digadang-gadang melalui gerakan pengumpulan 1 juta KTP yang katanya akan digunakan Ahok-Heru untuk maju via jalur perseorangan. Ternyata, di ujung pilihan, Ahok berubah untuk maju via jalur parpol, padahal sebelumnya di berbagai kesempatan Ahok selalu menyebut parpol disebut sebagai sarang korupsi. Mengingat kebersamaan Ahok di parpol hanya sebagai alat mencapai kekuasaan mulai mencalonkan bupati di Belitung Timur, Cagub di Bangka Belitung, kemudian anggota DPR, selanjutnya maju sebagai Wagub di DKI (2012). Menariknya, ketika Ahok maju pilkada Jakarta, Beliau selalu mengkritik petahana yang maju saat itu, Fauzi Bowo. Ahok selalu katakan incumbent rentan menyalahgunakan kekuasaannya sebagai gubernur, memperalat birokrasi, serta menggunakan APBD untuk memenangkan dirinya. Bahkan, Ahok sampaikan bila mereka kalah maka kekalahan tersebut diakibatkan adanya kecurangan incumbent saat itu, yaitu Fauzi Bowo.

Untuk itu, ahok menuntut Fauzi Bowo untuk melakukan cuti dari jabatannya sebagai Gubernur DKI agar tidak salah gunakan jabatannya dlm kontestasi pilgub tersebut. Namun, seolah lupa atau sengaja untuk manipulasi opini yang ada saat ini, Ahok sebagai incumbent pun bernafsu untuk kembali maju di Pilgub DKI, seakan lupa apa yang pernah dituduhkan Ahok terhadap Fauzi Bowo saat itu. Ahok menolak cuti dengan berbagai argumen yang akhirnya menjadi cemoohan masyarakat. Bahkan, Ahok juga mengunakan mesin birokrasi dengan cara melibatkan Heru maupun sekda Saefullah, dimana menjadi tidak netral ketika mereka memastikan diri untuk maju dalam kontestasi pilgub ini.

Terlepas dari kepastian dicalonkan atau tidak, namun secara etika dimana ketika parpol sudah melakukan penjaringan serta keikutsertaan mereka baik lansung maupun tidak, tindakan Ahok ini sangat rentan terjadinya perselingkuhan politik. Sehingga, ini tidak boleh terjadi. Kalau Ahok tidak ingin menciptakan kegaduhan baru dalam pemerintahannya, maka hal penting untuk dilakukan adalah mencopot Saefullah sebagai Sekda serta Heru dari posisinya sebagai Kepala BPKD.

Mengapa ini perlu segera dilakukan? dikarenakan kedua orang ini (Saefullah dan Heru) sebagai PNS sudah aktif terlibat politik praktis, yang dalam aturannya hal itu dilarang untuk dilakukan. Di lain hal akibat syahwat politik mereka untuk maju di Pilgub DKI, tugas serta fungsi jabatan vital yg diemban menjadi tidak maksimal dijalankan.

Sebagai contoh, soal tingkat pendapatan daerah yang tidak ada peningkatan semenjak dipimpin Ahok, penyerapan anggaran yang paling buruk selama ini, serta koordinasi yg lemah antar institusi dibawah koordinasi sekda. Begitu pun Heru sebagai kepala BPKD yang mengelola aset ratusan triliun Pemprov DKI. Seperti, yang nyata kita lihat saat ini pembeliaan lahan yang merugikan ratusan miliar uang rakyat, yang dihimpun melalui pajak, terbuang sia-sia. Mulai dari pembelian lahan sumber waras, lahan rusun cengkareng serta aset lainnya, dimana akan menjadi bom waktu yang akan meledak pada saatnya.

Ini semua jelas serta beralasan mengapa mereka harus mundur dari posisi mereka. begitu pun sesuai dengan UU mengapa Ahok harus cuti saat setelah ditetapkan menjadi calon pada Pilgub DKI, agar rasa keadilan dapat berlaku sama untuk semua orang yang akan maju pada kontestasi Pilgub DKI.

Semoga pemerintah pusat dalam hal ini kemendagri, KPU, Bawaslu, serta masyarakat luas, dapat jeli melihat manipulasi yang dikemas dalam perselingkuhan politik yang menjadikan Ahok beserta kroninya sebagai aktor intelektual dalam menyiasati segala hal agar dpt mempertahankan jabatan yang sudah ada saat ini.

Rico Sinaga
Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (AMARTA)

Related Articles

Latest Articles