Pak Amien, Pimpin Kami Sekali Lagi!

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Tahun 98, saya beberapa kali mendampingi Pak Amien Rais, dibanyak aksi menumbangkan orde baru bersama berbagai elemen mahasiswa, rakyat dan banyak kalangan. Dibeberapa kesempatan juga bareng dengan sahabat saya, Fahri Hamzah.

Waktu itu, selain karena isu tekanan ekonomi global, rakyat sudah muak dengan cara-cara Orde Baru mengelola negeri. Pemasungan hak-hak konstitusi publik yg dikebiri, kebebasan pendapat yang dibatasi, penangkapan, teror, penculikan bahkan pembunuhan terhadap rakyat sipil menjadi sajian Oder Baru dalam menghadapi rakyatnya sendiri (tragedi trisakti, dll).

Waktu itu, hampir tidak ada yang berani lantang bersuara melawan. Hingga muncul tokoh cendekiawan bersahaja, cerdas, konsisten, kritis dan berani. AMIEN RAIS namanya.

Dengan lantang dia menyuarakan REFORMASI, mengajak semua elemen bersatu padu melawan rezim tirani.

Sebagian mendukung, sebagian lagi lari, meski pada akhirnya dibelakang mendukungnya kembali.

Mahasiswa adalah elemen pertama dan utama yang menyambut seruan tadi. Seperti ada aliran darah yang sama mengalir melihat kejanggalan dan ketimpangan negeri. Hingga akhirnya semua elemen terlibat, dan berkolaborasi. Lintas agama, sosial dan ideologi.

Meski seringkali kami disibukkan oleh ulah para ‘penumpang gelap reformasi’. Mereka sedari dulu memang kerap dan gemar menyelisihi konsensus serta tata kelola negarawan dan konstitusi dalam berjuang.

Dikampus-kampus, mereka tersebar dilembaga-lembaga non-formal yang tidak memiliki akuntabilitas, transparansi dan kejelasan pertanggungan jawab aksi serta integritas institusi. Selalu saja berulah dan memaksa gerakan mulia reformasi menjadi anarki. Tetapi waktu itu, kita sadar dan mengerti kebiasaan, tata krama, ideologi dan provokasi yang selalu mereka gunakan.

DNA anarki sdh mengalir didalam bathin gerakannya. Baik anarki secara fisik ataupun anarki secara politik. Sejarah mencatatnya disetiap aksi. Mereka selalu berusaha merebut kendali, namanya juga ‘penumpang gelap’ reformasi. Sangat jauh dari religi bahkan cenderung memusuhi ideologi yang dekat kepada agama samawi.

Makanya tidak aneh, dulu mereka sangat antipati jika aksi berbarengan dengan terbitnya matahari.
Disaat pejuang-pejuang reformasi yang berbasis religi sejak subuh sudah siap aksi, jangan harap mereka siap saat munculnya matahari.

Jangan ditanya dinamika nya dulu apakah ada friksi.
Banyak.. banyak sekali.

‘Penumpang gelap reformasi’ ini terus bergulir bersama kemenangan reformasi yang dipimpin oleh Ayahanda Pak Amin Rais. Ketika semua elemen reformasi berevolusi menjadi partai, mereka juga terdiaspora didalam beberapa partai dan lembaga-lembaga sosial politik. Beberapa kali peruntungan mereka di pentas politik tidak pernah mendapat kesempatan berkuasa. Hampir 15thn lebih, mereka puasa kekuasaan. Rakyat seperti juga jengah memilih.

Hingga akhirnya kecurangan mengantarkan nya menjadi pemenang dimasa lalu. Waktu itu, rakyat tersihir belum mengerti sejarah, cerita, kebiasaan, tata krama, ideologi dan provokasi yang selalu mereka gunakan.

Hingga akhirnya, kini tersadar, bahwa ‘penumpang gelap reformasi’ ini bukan saja lapar kekuasaan akibat puasa lebih dari 15thn, tapi juga haus darah rakyatnya sendiri. 600an lebih nyawa melayang, untuk mereka biasa-biasa saja. 6 orang mati dalam demonstrasi damai menuntut kedaulatan bukan sesuatu yang berarti. Ratusan terluka juga tak menimbulkan rasa iba. DNA anarki benar-benar tak bisa mengubah jati diri.

Asal tau saja, dahulupun, mereka terbiasa mengorbankan rekannya untuk menjadi martir untuk sebuah eskalasi. Cek saja jejaknya sepanjang melawan orde baru dan tidak lama setelah tumbangnya, beberapa aksi brutal dan anarkis yang menelan korban acap terjadi. Untuk mengingatkan memori, buka saja ingatan tentang kiprah sebuah Forum yang pentolannya jadi anggota dewan dari ‘pedei’.

Hari belakangan, Pak Amien Rais muncul kembali. Bersama rakyat yang memperjuangkan kedaulatan yang selama ini dirampas dengan jalan curang, cara teror menangkapi, hukum tebang pilih, serta menjauhi rakyat dari kemuliaan ulama dan agama.

Mereka melawan para ‘penumpang gelap reformasi’ yang telah menciptakan kekuasaan menjadi alat bagi menyiksa, menangkap, membunuh, membungkam bukan untuk menyejahterakan, memuliakan dan memerdekakan rakyatnya.

Bahkan kini telah berjatuhan korban meninggal dan terluka.

Butuh waktu lama, bagi Orde Baru menguatkan eksistensi otoriterianisme dan diktatorisme nya. Mulai berani menekan dan mengancam kebebasan Rakyat bahkan menembaki aksi demontrasi di masa itu, memasuki 32 tahun kekuasaannya.

Tapi, tidak hal-nya dengan rezim ini. Hanya 5 tahun kekuasaannya, telah berani dan bengis terhadap rakyatnya sendiri. Menembaki hingga ke gang-gang jalanan, masjid-masjid dan menangkap siapa saja yg tidak disukainya.

Ini bukan perkara hasil pemilihan presiden belaka. Tapi lebih substansi, adalah tentang hak-hak kedaulatan rakyat yang terdistorsi, keadilan yang tergadai, kepercayaan yang tercerai serta kejujuran yang dimanipulasi.

Pak Amien, kami lihat masih seperti dulu. Lincah, tajam, cerdas, bernas, konsisten, luhur budi, bersahaja tanpa ambisi, dan lantang membela kebenaran dan kebaikan untuk negeri.

Saatnya, para ‘Penumpang Gelap Reformasi’ ini tidakk lagi diberi kesempatan memimpin negeri. Cukup sudah derita berkepanjangan, kebodohan, perpecahan, manipulasi, ketidakadilan, dipertontonkan oleh mereka yang sejatinya memang tidak berniat membawa bangsa ini menjadi mulia dan sejahtera.

Entah apa yang ada dikepalanya selain perut dan kepentingannya sendiri.

Pak Amiien… Pimpin kami sekali lagi!
Untuk menumbangkan ‘Penumpang Gelap Reformasi’ Kembalikan marwah Reformasi pada kemuliaannya yang hakiki.

Salam

Oleh: ArBow
Budayawan Jalanan

Related Articles

Latest Articles