Masih Perlukah Fatwa Hoax?

Oleh: Ahmad Barjie B*

SuaraJakarta.co, OPINI – Suatu ketika Rasulullah saw dan rombongan bepergian ke luar kota Madinah, ikut serta istri beliau Siti Aisyah. Di tengah jalan rombongan singgah sebentar untuk istirahat, dan Aisyah menyempatkan buang air tanpa memberi tahu kepala rombongan. Ternyata Aisyah ditinggalkan kereta yang membawanya, sehingga beliau terpaksa berjalan sendiri. Di tengah jalan pulang Aisyah bertemu seorang tentara muda yang bersedia mendampingi dan mengawalnya sampai pulang ke Madinah.

Peristiwa ini segera menjadi berita hoax, karena sejumlah orang munafik Madinah yang dimotori Abdullah bin Ubay menuduh Aisyah berselingkuh dengan pemuda tersebut. Aisyah sangat sedih, namun tak bisa membela diri karena tidak ada saksi yang dapat membenarkannya. Rasulullah menahan diri sampai turunnya ayat Alquran yang membenarkan Aisyah dan si pemuda, bahwa mereka tidak melakukan apa-apa. Peristiwa ini terkenal sebagai hadits ifiq, dan nama Aisyah menjadi bersih kembali.

Jauh sebelumnya, seorang wanita tua Yahudi juga aktif menyebar hoax untuk menjelek-jelekkan Rasulullah. Wanita itu tidak bisa mengklarifikasi hal sebenarnya karena matanya buta. Rasulullah menyikapinya dengan tenang saja, beliau jawab hoax dengan kinerja. Tiap hari beliau datang dan memberi makan wanita itu bahkan menyuapinya dengan lembut. Ketika Rasulullah wafat dan tidak ada lagi yang menyuapi seperti beliau, dan ketika diberi tahu bahwa yang menyuapi selama ini adalah Rasulullah yang selalu dijelek-jelekkannya, seketika itu wanita Yahudi itu tersadar dan langsung menjadi muslimah.

Ilustrasi di atas menunjukkan, meski hoax seolah fenomena kontemporer, sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dahulu kala, termasuk era Nabi Muhammad saw. Bedanya, waktu itu hoax hanya disebarkan dari mulut ke mulut dan itu pun berlangsung cepat. Sekarang hoax disebarkan melalui media elektronik, sehingga semakin cepat dan sulit dilacak.

Varian Hoax

Maraknya hoax akhir-akhir ini, mengundang keprihatinan dan mendorong banyak kalangan angkat bicara, sesuai pandangan masing-masing. Tidak terkecuali Majelis Ulama Indonesia (MUI) didorong untuk segera mengeluarkan fatwa larangan hoax.

Jika hoax kita maknai pembuatan berita bohong dan penyebarannya ke tengah publik, MUI memang berwenang meresponnya dalam perspektif agama. Sebab ajaran Islam banyak berisi tuntunan untuk tidak menyebarkan berita bohong dan kalau mendengarnya orang harus berhati-hati, melakukan cek silang atau tabayyun, agar jangan menerima begitu saja, apalagi ikut menyebarkannya, karena berpotensi merugikan dan membahayakan orang lain. Pertanyaannya, bisakah hoax berkurang dengan fatwa MUI. Bukankah UU ITE sudah diberlakukan selama ini?.

Dalam bahasa agama, berita yang tidak baik ada berupa fitnah, ghibah dan sia-sia. Fitnah adalah berita yang tidak ada faktanya sama sekali, bohong alias dusta. Fitnah begini dikatakan lebih kejam daripada pembunuhan, al-fitnatu asyaddu minal-qatl, karena fitnah pemicu terjadinya percekcokan dan permusuhan. Ketika melibatkan kelompok besar, fitnah bisa menyulut peperangan. Orang yang memfitnah terkena sanksi hadd, misalnya menyebut orang yang jujur telah berzina, terkena hadd kadzaf, sanksinya 80 kali pukulan dan kesaksiannya dicabut karena dianggap orang fasiq.

Ghibah adalah peristiwa yang benar terjadi, namun jika diberitakan atau disebarluaskan, pelaku merasa dirugikan sebab menjatuhkan martabat dan harga dirinya. Untuk perkara ringan, ghibah identik dengan gosip. Menggibah dan mendengarkannya sama-sama berdosa, hukumnya haram. Alquran mengistilahkan orang yang menyebar ghibah seperti memakan bangkai saudaranya.

Di masa Rasulullah saw, orang yang mengghibah langsung terkena hukuman, mulutnya berdarah seperti mengunyah daging mentah, dan jika dimuntahkan akan keluar daging busuk yang berbau. Sekarang hukuman ghibah tidak langsung dirasakan, ditunda dosanya sampai bertaubat.

Ghibah dibolehkan untuk beberapa hal, di antaranya: Pertama, untuk kepentingan dakwah. Jika ada orang berbuat jahat secara terang-terangan, para juru dakwah dan siapa saja boleh mengghibahnya secara terang-terangan pula, dengan tujuan meluruskan dan pelaku bisa sadar. Kedua, untuk kepentingan berperkara di pengadilan; di situ korban, saksi, pelapor dan pelaku tindak pidana ”bisa saling mengghibah” untuk mendapatkan kebenaran material tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Selanjutnya, berita yang tidak baik itu berupa pembicaraan yang sia-sia (qaul al-zur), seperti kata atau tulisan yang bermuatan pornografi dan lelucon yang tidak ada maknanya. Hal begini juga berdosa, membuang waktu dan kontraproduktif.

Objektif dan Jujur

Melihat contoh di atas, hoax dapat diatasi dengan beberapa pendekatan. Pendekatan hukum Islam melalui fatwa haram MUI dan hukum Positif berupa UU ITE, mungkin sedikit banyak dapat mengurangi hoax. Kalau MUI menghukumkan haram, hoax bisa berkurang, sebab bermain hoax mendatangkan dosa. Tetapi fatwa MUI tidak akan efektif, sebab hanya imbauan moral dan komitmen umat untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan agama sudah menurun sejak lama.

Sanksi berat melalui UU ITE mungkin akan efektif, tetapi proses pembuktiannya akan sulit dan lama. Siapa pembuat awal hoax sebenarnya, bagaimana menjerat pelaku penyebarnya lewat media yang begitu massif, dan bagaimana menilai content-nya sehingga benar-benar terkategori hoax. Terlebih jika content-nya terkait masalah politik dan SARA, itu benar-benar multitafsir dan debatable. Orang menilai benar salah tentu menurut perspektif dan kepentingan masing-masing.

Hoax melalui media online berbanding lurus dengan makin canggihnya peralatan informasi elektronik, karenanya negara-negara maju juga mengalaminya. Lebih baik maraknya hoax ini kita sikapi dengan kepala dingin saja. Pemerintah dan segenap pihak perlu bekerja optimal dan jujur dalam segala hal, sehingga tidak membuka ruang lahirnya hoax. Jangan sampai apa yang tersebar melalui hoax dan pemerintah membantahnya, tapi lama kelamaan malah menjadi kenyataan.

Media massa cetak dan elektronik, terlebih yang mainstream, hendaknya menyajikan berita secara objektif, jujur, berimbang, adil dan dapat dipercaya. Media tidak boleh memihak kecuali hanya kepada kebenaran. Tidak boleh menguntungkan sepihak dan merugikan pihak lain. Masyarakat sekarang sudah cerdas, tidak bisa lagi dibohongi pakai berita pencitraan dan plintiran.

Rasa ingin tahu (curiosity) publik harus mampu dijawab oleh media secara memuaskan dan tidak ada yang ditutup atau disembunyikan. Jika publik sudah puas dengan media yang ada, tentu mereka tidak akan mencari media alternatif. Sebaliknya jika ada hal-hal yang ditutupi, masyarakat akan mencari sumber berita lain, dan di sinilah hoax dan semacamnya bisa tumbuh subur.

*) Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel, Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin.

Related Articles

Latest Articles