Intoleransi dan Diskriminasi di Negara Demokrasi: Muslim Tolikara Berduka di Hari Raya

SuaraJakarta.co – Pencegahan intoleransi dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Indonesia nampaknya masih belum bisa dikatakan berhasil. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat non muslim Papua terhadap Jemaah shalat idul fitri di Kabupaten Tolikara, Papua membuka mata kita semua, bahwa intoleransi dan diskriminasi di Indonesia masih sangat rentan, terlebih kasus ini terjadi di hari besar umat muslim dunia. Tindakan ini juga tentu mencederai nilai-nilai pluralitas di Indonesia. Banyaknya agama seharusnya adalah keunikan hidup di negara dengan populasi terbesar ke empat di dunia ini, bukan menjadi penjara bagi para minoritas yang sah di suatu tempat atau daerah di Indonesia.

Tindakan pelemparan batu dan pembakaran masjid oleh masyarakat non muslim Tolikara dapat kita simpulkan sebagai tindakan radikal dan pelaku dapat dikatagorikan sebagai kelompok ekstrimis. Sungguh ironis, negara yang dikatakan sebagai negara hukum dan terdemokrasi di dunia masih mengalami masalah intoleransi dan diskriminasi. Tentu ini menjadi pekerjaan besar pemerintah, terutama Kementerian Agama RI untuk menyelesaikan masalah kerukunan umat beragama di Indonesia.

Jika ditelusuri akar permasahalannya, kita akan mendapati betul permasalahan pokok dari kasus radikalisme ini. Sebelum perayaan hari raya idul fitri, Gereja Injil di Indonesia (GIDI) mengirimkan surat peringatan agar umat muslim di Kabupaten Tolikara tidak melakukan takbiran dan shalat idul fitri. Uniknya surat ini mendapatkan tembusan dari Bupati, Ketua DPRD, dan Polres Kabupaten Tolikara.

Ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh pihak yang berwenang – terutama di sini adalah pemerintah daerah setempat dan Polres setempat – terkait pembuatan surat tersebut. Pertama, apa motif dan tujuan pembuatan surat larangan perayaan idul fitri oleh non muslim Tolikara kepada umat muslim di Kabupatan Tolikara?. Kedua, dalam surat tersebut ada tembusan dari Bupati, Ketua DPRD, dan Polres. Apakah betul lembaga eksekutif, legislatif, dan badan keamanan daerah sampai mendukung pembuatan surat tersebut?

Surat pengajuan yang dibuat GIDI tentu sudah melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian tindakan yang dilakukan dengan melempari Jemaah shalat id dan dilanjut dengan pembakaran masjid sangat jelas melanggar UU RI pada amandemen ke II Pasal 28 tentang penjaminan keamanan kebebasan beragama. Hal ini juga dapat membantah klarifikasi dari Komnas HAM yang disampaikan oleh Natalius Pigay – yang mengatakan bahwa penyerangan yang dilakukan non muslim ditujukan kepada kepolisian yang berjaga. Sangat jelas sekali yang diserang di sini adalah Jemaah shalat id dengan bukti pelemparan dan dilanjut pembakaran masjid. Jangan sampai Komnas HAM juga ikut-ikutan bungkam terkait hal ini. Jelas ini masuk katagori konflik agama dan intoleransi dalam beragama. Bupati, DPRD, dan Polres Kabupaten Tolikara juga harus diperiksa kembali, mengapa sampai dengan mudah memberi tembusan – jika benar – dalam surat pelarangan perayaan shalat id yang dibuat oleh GIDI.

Kejadian intoleransi dan diskriminasi ini juga adalah pukulan telak bagi Badan Intelijen Negara (BIN). Seharusnya aparat intelijen sudah bisa mendeteksi gangguan keamanan, di setiap perayaan hari besar keagamaan. Selain itu pemerintah juga harus mengambil langkah cepat, jika perlu membuat tim khusus untuk menangani kasus intoleransi dan diskriminasi di Kabupaten Tolikara. Karena jika hal ini tidak diselesaikan dengan baik dan tegas, tentu bukan tidak mungkin kejadian dengan hal yang sama terjadi kembali di beberapa daerah di Indonesia.

Penulis: Pandu Wibowo, Ketua Komisi A FSLDK Banten dan Peneliti CIDES.

Related Articles

Latest Articles