Penulis: Prijanto Soemantri
Apa Hebatnya E-Budgeting?
E-Budgeting hanyalah pilihan sistem, untuk memformat anggaran. Tujuan a.l. untuk keamanan, mempercepat akses, mudah diakses dan bisa dibaca oleh siapa saja. Namun, tidak bisa dikutak-kutik oleh sembarang orang karena dikunci. Membuka dan merubah RAPBD hanya petugas yang mengetahui password atau kuncinya.
Berdasarkan aturan, RAPBD dari eksekutif sangat dimungkinkan adanya perubahan. Sebab, eksekutif bisa salah dalam membuat perkiraan sektor penerimaan, besaran Silpa dan alokasi anggaran. Begitu juga jenis program, karena tidak mengacu hasil Musrenbangda dan kebutuhan rakyat. Perubahan RAPBD hasil pembahasan bersama, memiliki konsekuensi Gubernur untuk merubah RAPBD yang diajukan. Artinya, ketika kita memilih e-budgeting, tidak berarti RAPBD awal tidak bisa dirubah bak kitab suci.
Dana Siluman atau Program Siluman
Saya cenderung menyebut dengan ‘program siluman’ dari pada ‘dana siluman’. Program disebut siluman oleh eksekutif karena muncul di luar RAPBD. Namun, dari sisi anggota DPRD, disebut pokok-pokok pikiran Dewan. Program yang muncul bisa baik sesuai kubutuhan atau sebaliknya.
Pertanyaan kritis; apakah fungsi anggaran DPRD boleh membahas sampai jenis program? Sewaktu Wagub, saya mengkritisi perilaku Dewan melalui buku saya ‘MENGINTIP APBD & PEMBANGUNAN JAKARTA’ yang saya luncurkan September 2009.
Selesai menjabat, saya tulis buku ‘MENGAWAL UANG RAKYAT’ yang peluncurannya dihadiri Wagub Ahok, di hotel Borobudur. Walaupun saya kesal dengan perilaku oknum Dewan, saya berpendapat “boleh dan penting anggota DPRD bisa membahas sampai satuan tiga, namun dengan catatan”. Alasan mengapa boleh dan penting a.l:
- Karena DPRD bagian dari Pemerintahan Daerah. Posisi DPRD sangat berbeda dengan DPR RI.
- Anggota Dewan mengetahui kebutuhan rakyat & wilayahnya.
- Untuk melengkapi bila konsep RAPBD ada yang terlewat.
- Konsep RAPBD dari eksekutif belum tentu benar.
- Membantu eksekutif jangan salah langkah.
- Implementasi fungsi pengawasan Dewan.
Dengan catatan, artinya pokok2 pikiran Dewan benar-benar dibutuhkan rakyat. Disamping itu penyampaian harus 5 (lima) bulan sebelum APBD disahkan. Dimasukkan dalam RAPBD atau tidak, akan dibahas pada tahap pembahasan nantinya. Inilah sejatinya implementasi fungsi anggaran DPRD.
Ahok Menggali Kubur Sendiri
Pernyataan Ahok setelah lapor ke KPK: “lebih baik tidak jadi Gubernur dari pada mencuri uang rakyat”. Suatu pernyataan yang bagus dan patut diapresiasi. Namun, langkah Ahok tidak ada korelasinya dengan pelanggaran aturan oleh Ahok dalam proses penyusunan APBD 2015. Langkah Ahok ke KPK bukan sebagai alasan pembenaran atas pengiriman RAPBD 2015 ke Kemendagri yang bukan hasil Rapat Paripurna, oleh Ahok.
Jika Ahok ada etika dan komunikasi yang baik, setelah Gubernur menerima laporan hasil pembahasan dari Sekda (TAPD) sesungguhnya bila ada program yang mengganjal, masih ada waktu, bisa dan harus melakukan komunikasi dengan DPRD sebelum Rapat Paripurna.
Jurus Ahok menyikapi Hak Angket Dewan dengan melaporkan APBD 2014 ke KPK, bisa disebut menggali kubur untuk dirinya dan yang terkait. Sebab, berdasarkan UU No. 32/2004 pasal 27, Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.
Perda APBD 2014 adalah perintah Gubernur Jokowi kepada satuan bawahannya untuk melaksanakan program pembangunan di Jakarta. Apabila ada program mencurigakan, tentu Wagub tidak paraf dan Gubernur tidak tanda tangan. Adanya paraf dan tanda tangan, berarti Gubernur dan Wagub menyetujui dan bertanggung jawab.
Jika dalam APBD 2014 ditemukan kerugian negara dari pos tertentu, maka yang harus bertanggung jawab Gubernur dan Wagub. Unsur pelaksana dan pembantu yang terseret a.l. Kepala SKPD/Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Panitia Lelang, Ka Bappeda, Ka. BPKD, Irprov dan Karo Hukum. Oknum DPRD dan Pemprov yang mendorong munculnya program tersebut serta kecipratan duit, juga ikut bertanggung jawab.
Laporan Ahok ke KPK bagaikan tsunami pembersih koruptor, termasuk kuburan bagi dirinya. KPK hendaknya tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum dan keadilan. Bisakah kasus APBD DKI 2014 diselesaikan KPK sebagaimana kasus Hambalang yang menyeret Menpora, Andi Malarangeng? Mari kita tunggu.
Jakarta, 2 Maret 2015 pk. 20.45
*) Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta