Oleh: Fahmi Salim
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI
SuaraJakarta.co, OPINI – PARTAI Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia berusaha tampil berbeda dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), meskipun didirikan oleh para mantan petinggi PKS. Bahkan, bisa jadi massa pendukungnya tak jauh berbeda, atau beririsan sangat tajam. Namun, Ketua Umum Gelora Anis Matta merasa optimis partai yang didirikannya bisa mendapat dukungan rakyat dan mampu bersaing dalam konstelasi politik di Indonesia, karena Gelora memiliki representasi seluruh kelompok, semangatnya kolaborasi dan membawa platform baru bagi Indonesia.
Anis Matta yang juga mantan Presiden PKS setengah periode dan Sekjen 3 periode ini sering menyebut adanya krisis kepemimpinan di Indonesia. Karena itu, untuk menjadi bangsa yang besar, Indonesia membutuhkan peta jalan, pemimpin dan determinasi kolektif. Inilah yang disebutnya dengan ‘Arah Baru Indonesia’. Untuk melahirkan pemimpin, Gelora telah berikhtiar misalnya menyelenggarakan Akademi Pemimpin Indonesia (API), pada 14-16 Agustus lalu. Lalu, apa yang membedakan Gelora dengan partai lainnya? Kehadiran Anis Matta dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian,” kami manfaatkan untuk mendedah visi mantan Wakil Ketua DPR RI ini di balik pendirian Partai Gelora Indonesia. Selengkapnya simak di link ini:https://youtu.be/87CWfuq_p_0
Sebuah parpol lazimnya dinamai sesuai ideologinya yang diusung, misalnya dengan kata demokrasi, pembangunan, nasional, keadilan dan lain lain. Namun, menurut Anis Matta, Gelora bermakna gelombang rakyat yang menunjuk pada pelakunya, yaitu rakyat. Rakyat sebagai pelaku sejarah dalam memasuki era sejarah baru Indonesia, yang disebutnya dengan era gelombang ketiga.
Merujuk pada buku yang ditulis Anis Mata berjudul: “Gelombang Ketiga Indonesia”, ia menggunakan istilah gelombang yang didefiniskannya sebagai suatu kontinum peristiwa yang melalui perjalanan melintasi waktu dari masa lalu, masa kini hingga masa depan. Gelombang merupakan resultante dari berbagai faktor pendorong yang mempengaruhinya, yang dapat berasal dari dalam dan dari luar.
Pada Gelombang Pertama, menurut Anis yang juga aktivis dakwah ini, terjadi perubahan cara berpikir dari ikatan etnis menjadi ikatan bangsa yang besar, yang dimulai dengan momentum kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang ingin menyatukan wilayah di nusanntara. Setelah memasuki masa imperialisme barat, maka lahirlah narasi harmoni setiap wilayah karena merasakan satu penderitaan, dan terintegrasi dalam hasrat yang sama untuk terbebas dari kolonialisme. Saat itu, Islam adalah kohesi terbesar dan dominan dalam proses pembentukan identitas Indonesia, yang berhasil membangun persatuan umat dan sentimen anti penjajahan, yang dibuktikan dengan berdirinya Serikat Dagang Islam, Serikat Islam, Al Irsyad, Muhammadiyah hingga Nahdhatul Ulama. Setelah menyatukan satu kebangsaan dalam Sumpah Pemuda, maka puncak dari gelombang pertama ini adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Gelombang berikutnya adalah Gelombang Kedua, yang dimulai sejak Negara Indonesia resmi dideklarasikan. Saat itu, terjadilah pergulatan untuk menjadi negara modern, yang didukung dengan konstitusi yang modern, lembaga yang kuat dan budaya demokrasi. Pada gelombang ini ditandai dengan pergulatan mencari sistem ekonomi dan politik yang cocok dengan struktur budaya dan sosial rakyat Indonesia, dimulai sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi. Pancasila disebut Anis sebagai akar kolektif yang merekatkan dan menjadi platform dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu lahir gelombang baru yang disebutnya Gelombang Ketiga, yang salah satu karakter masyarakatnya adalah kelas menengah baru yang dibentuk orang yang berusia 45 tahun ke bawah, berpendidikan cukup tinggi, kesejahteraan membaik, terhubung dengan lingkungan global melalui internet, dan lahirnya kelompok native democracy. Mereka adalah generasi millenials, yang memanfaatkan demokrasi sebagai komoditas dalam era teknologi, dengan spirit berkompetisi dan individualisme.
Tantangannya, pada era ini otoritas negara menjadi tidak relevan jika kapasitasnya lebih rendah dari ekspektasi masyarakat. Struktur politik akan semakin datar karena memudarnya hierarki dan otoritas, sehingga partai politik harus bekerja keras mendulang satu suara demi satu suara untuk mendapat dukungan. Warga negara tidak lagi pasif, tapi berpartisipasi aktif dalam politik dan mampu mengartikulasikan opininya, salah satunya lewat media sosial. Pada era ini, muncul kekuatan ekonomi jejaring (network economy) yang mampu melangkahi batas negara dan pasar.
Wabah covid 19 yang terjadi saat ini menjadi catatan sendiri bagi Anis Matta sebagai pengulangan sejarah, karena siklus besar dunia tengah terjadi pada setiap 100 tahun sekali yang ditandai pergantian sistem dan kepemimpinan dunia. Dunia tengah direkonstruksi yang biasanya berlangsung lama, sistemik dan multi disiplin, serta memakan korban, biasanya juga disertai dengan perang. Karena itu, Indonesia harus berperan menjadi negara besar dengan memberi tawaran peradaban dunia. “Inilah lompatan imajinatif keluar dari solusi jangka pendek yang fundamental agar Indonesia menjadi salah satu kekuatan dunia,” jelasnya.
Namun, semua perubahan dunia bisa dilihat dari kaca mata keimanan. Karena, tidak ada satu pun yang terjadi di muka bumi ini di luar kehendak Alloh. Wabah penyakit bukanlah yang pertama kali terjadi. Tentu, Alloh memiliki maksud tertentu dengan menciptakan jasad renik ini. “Tak ada yang diciptakan-Nya sia-sia”, demikian pesan Allah (QS Ali Imron: 191). Betapa banyak kekuasaan dan peradaban yang tinggi dahulu, seperti Raja Namrud, Firaun, Negeri Saba, Kaum Ad dan Tsamud akhirnya dihancurkan. Kesombongan manusia dalam kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan kekuasaan ekonomi politik pada abad ini ditegur Alloh dengan menghadirkan makhluk yang tak kasat mata.
Pasca Covid 19, konfigurasi aliansi global tengah membuka tawaran baru, yang disebut Anis dengan celah sejarah. Saya berkeyakinan Islam sebagai agama yang dibawa para nabi, sejak Nabi Adam alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memiliki historitasnya yang panjang dan mampu mengisi celah sejarah itu di tengah rekonfigurasi aliansi global. Hal itu telah terbukti dengan turunnya Surah Ar-Ruum di akhir periode Makkah, kekuatan Islam yang disiapkan Allah sebagai kekuatan alternatif dunia, 25 tahun kemudian mampu menggantikan supremasi Romawi dan Persia dan memimpin peradaban selama lebih dari 1 milenium. Sebagaimana dahulu Indonesia dibangun dengan semangat keislaman yang kokoh, dari para ulama dan tokoh-tokoh bangsa ini. Diakui pula oleh Anis Matta, negara membutuhkan agama, karena tidak ada konten filosofis yang lebih kuat untuk membangun dan mengisi peradaban dunia daripada agama.
Nabi Ibrahim alaihissalam sebagai bapak para nabi telah meletakan dasar untuk membangun sebuah bangsa sebagaimana doanya yang diabadikan dalam Al Quran. “Ya Tuhanku jadikanlah negeri Mekkah ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS Al Baqarah: 126). Ayat ini mengajarkan tentang keamanan dan kesejahteraan, yang menjadi hajat dasar manusia yang bersifat psikologis dan fisik. Lalu, manusia akhirnya memiliki ruang yang lapang untuk memikirkan spiritualitasnya, berupa hubungan vertikal dengan Tuhannya.
Ayat ini bisa dipahami sebagai sebuah visi membangun bangsa, yang diajarkan oleh para nabi. Sebagaimana refleksi yang diungkapkan Anis Matta, Nabi Ibrahim melakukan perjalanan yang jauh ke berbagai wilayah di dunia, mulai dari Irak, Kan’an (sekarang Palestina) hingga ke negeri Hijaz untuk menanamkan sebuah fondasi tauhid, yang menjadi visi para nabi. Ketika Hajar beserta Ismail ditinggalkan di lembah yang gersang, Alloh menurunkan rezeki dengan memancarkan air zam zam di balik kaki Ismail. Setelah Ismail dewasa, bersama ayahnya, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk meninggikan fondasi Ka’bah sebagai simbol spiritualitas. Karena itulah, basis material dan spiritual tak bisa dipisahkan.
Nabi Ibrahim selalu berdoa agar lahir dari keturunannya para nabi dan umat yang berserah diri kepada Tuhannya. (QS Al Baqarah: 128). Karena, jika kehidupan dunia dipisahkan dari tujuan akhirat, maka pada akhirnya akan melahirkan para pemimpin yang ambisius, rakus, dan cinta dunia. Ia akan menghalalkan apa saja untuk melanggengkan kekuasannya. Agama seringkali hanya jadi ritual lima tahunan, menjelang Pemilu. Simbol-simbol Islam dimanfaatkan untuk mendulang suara dari pemilih umat Islam.
Saya berharap Gelora tidak seperti itu, harus mampu melampaui, tidak sekedar identitas keislaman yang kehilangan ruhiyahnya. Mungkin, Gelora memilih untuk melebur dalam identitas kebangsaan sebagai bangsa Indonesia, tanpa membedakan latar belakang agama dan suku, karena yang dibutuhkan Indonesia adalah entitas peradaban yang membawa proposal baru. Maka, menurut Anis, saatnya bangsa Indonesia membuat arah baru, rekonsilitasi para elit dan memetakan sumber daya.
Anis Matta memilih untuk mendirikan partai baru, daripada tetap bertahan di PKS, yang telah membesarkan namanya. Karena, ia berkeyakinan lebih terhubung dengan cita-cita besar daripada terikat dengan sebuah lembaga. “Saya tidak pernah mengsakralkan sarana, karena akan berbahaya,” ungkapnya. Partai politik baginya adalah sekedar sebuah sarana untuk mewujudkan cita-citanya, bukan sebuah tujuan.
Namun, untuk konsisten memegang idealisme itu tak mudah dan membutuhkan kesabaran yang kokoh. Karena, dalam politik seringkali pragmatisme yang keluar sebagai pemenang daripada idealisme. Terbukti, banyak aktivis politik yang dahulu menjadi pejuang demokrasi, ketika sudah memegang kekuasaan bermutasi jadi tirani. Dahulu bergaya proletar dan menentang oligarki, tapi setelah menjabat berperilaku borjuis ala oligarki.
Mampukah, Anis Matta bersama Partai Gelora mewujudkan cita-cita luhur itu? Setidaknya, kata Anis, saya ingin menunjukan amal sholeh dengan berjuang semaksimal mungkin sebagai wujud pertanggungawaban pribadi di akhirat kelak di hadapan Alloh Azza wa Jalla.
Wallohu ‘alam