Sejarah Odading dan Asal Usul Sebuah Kata

SuaraJakarta.co, (OPINI) – Odading adalah sejenis penganan yang terbuat dari adonan tepung terigu,telur dan gula pasir yang populer di kalangan masyarakat tanah Pasundan. Rasa kue ini empuk dan manis. Harganya pun murah meriah.Saya ingat,saat masih duduk di bangku sekolah dasar pada sekitar awal 1980-an, kue jenis ini biasanya menjadi menu favorit saya dan kawan-kawan untuk sekadar pengganjal perut menjelang waktu makan siang.

Tak saya sangka, odading ini ternyata pernah memiliki “hubungan khusus” dengan sebuah keluarga Belanda di zaman dulu. Soal ini pernah diceritakan oleh Remy Sylado dalam sebuah tulisannya berjudul Disumpahi Pemuda: Satu Nusa Satu Bangsa Dua Languanges.

Tak tanggung-tanggung, tulisan itu dipresentasikan Remy saat ia didapuk sebagai pembicara dalam Australian Association of Indonesian Language Educators Conference, yang diselenggarakan oleh Melbourne Institute of Asian Languages and Societies, University of Melbourne itu.

Ceritanya, suatu hari seorang putera seorang meneer (istilah untuk pejabat atau tuan tanah Belanda era kekuasaan Hindia Belanda) yang masih bocah merajuk kepada sang mami. Ia menginginkan jenis penganan yang dijajakan seorang anak kampung. Sayangnya, sinyo kecil itu tidak memiliki informasi cukup mengenai “identitas” kue lezat itu. Ia hanya bisa menunjuk-nunjuk dagangan yang tengah dipanggul tersebut.

Sang nyonya pun penasaran. Ia kemudian memanggil si ujang penjual kue dan menyuruhnya membuka daun pisang yang menutup kue tersebut. “ Melihat kue itu, berkatalah sang nyonya kepada anaknya, “0, dat ding?” Artinya, “0, barang itu?”tulis Remy dalam makalah yang dibacakannya pada Juli 2001 tersebut.

Di Indonesia, memang ada banyak istilah yang asal muasalnya dari ungkapan orang asing. Bisa jadi itu, terkait dengan narasi besar sejarah negeri kita yang ratusan tahun selalu “ditongkrongin” orang-orang asing. Tahun 1990-an, R.Yoyoh Aisyah, almarhum nenek saya pernah mengisahkan hikayat lucu tentang cau raja jimbluk. Itu adalah nama sejenis pisang raja yang bentuknya besar dan rasanya legit luar biasa.

Lalu bagaimana si pisang raja itu sampai mendapat gelar tambahan jimbluk? Begini kisahnya. Pada sekitar tahun 1946, satu regu patroli tentara campuran Inggris totok dan India, yang tengah kehabisan logistik nyasar di sebuah hutan yang masuk dalam wilayah Cianjur Selatan. Setelah berhari-hari, sampailah mereka di sebuah ladang kebun milik penduduk dan menemukan sebatang pohon pisang raja yang buahnya sudah masak. Demi melihat “makanan” di depannya, si serdadu berseru keras kepada temannya,”Jim, look! (Jim,lihat!)” Jadilah pisang raja jimbluk.

BACA JUGA  Gereja Eben Haezer GBI Gelar Pengobatan Gratis Untuk Umum

Jauh sebelumnya, kejadian yang hampir sama terjadi pula di kawasan Jawa Tengah. Tepatnya terjadi saat Perang Diponegoro (1825-1830). Konon, usai bentrok dengan gerilyawan-gerilyawan sang panggeran Jawa itu, satu peleton tentara kompeni terjebak di garis depan dan kehabisan logistik.Saat kritis itulah, mereka menemukan kebun pisang lengkap dengan buahnya yang sudah masak. Saking girangnya dapat makanan, mereka berseru dalam bahasa Belanda, “God dank“, artinya ‘terima kasih Tuhan’. Di telinga orang-orang Jawa, seruan rasa syukur tersebut kemudian menjadi istilah gedang untuk buah pisang.

Istilah degan atau duwegan dalam bahasa Sunda yang artinya kelapa muda, mengandung juga hikayat lucu. Dua kata itu konon mengacu kepada seruan jengkel serdadu Inggris dan Belanda yang tengah patroli bersama.Mengapa jengkel? Karena saat mereka menginginkan kelapa muda, tak satu pun penduduk yang bisa menaiki pohon kelapa tersebut. “The Gun!” pakai bedil aja! Demikian kira-kira seruan jengkel itu muncul dari mulut komandan mereka.

Oh ya, jangan lupa kata meriam pun ternyata ada ceritanya. Menurut Remy, saat kanon dibawa oleh orang-orang Portugis ke wilayah Nusantara pada sekitar 1500-an, tak satu pun orang Melayu tahu nama senjata yang mengeluarkan suara menggelegar tersebut. Sampailah saat akan menembakan kanon itu, mereka mendengar orang-orang kulit putih tersebut menyebut nama Bunda Mariyam sambil membentuk tanda salib di dada. “Sejak itulah orang menyebut meriam untuk senjata kanon,”ujar Remy.

Tahun 1628 dan 1629, Kerajaan Mataram pernah dua kali menggempur Batavia. Begitu dasyatnya penyerbuan tersebut, hingga meninggalkan kisah-kisah yang berkesan bagi para penduduk Batavia. Konon saat puncak penyerangan terjadi, di beberapa titik kota terjadi pertempuran satu lawan satu yang sangat seru dan heroik bagi kedua pihak. Salah satu pertempuran yang paling “kejam dan lucu” terjadi di sekitar kawasan Benteng Tepi Selatan VOC, yang saat ini terletak di kawasan Stasiun Kota, Jakarta Utara.

BACA JUGA  Ardy Purnawan Sani : Ajang Citayam Fashion Week Jangan Tercoreng Karena Kemunculan LGBT

Dalam Historical Sites of Jakarta, Adolf Heuken menyitir sebuah kisah berbahasa Jerman yang diambilnya dari tulisan Johan Neuhoff berjudul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Nederlaendern an den Tatarischen Cham, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666.

Tulisan itu menceritakan sebuah bataliyon VOC yang nyaris hancur lebur oleh serangan bergelombang para prajurit Mataram. Di tengah krisis makanan dan amunisi serta keadaan moril yang runtuh, tiba-tiba seorang tentara bayaran asal Pfalz, Jerman bernama Sersan Hans Madelijn mendapat ilham untuk membuat sebuah siasat gila. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyiramkan (maaf) tinja kepada pasukan Kerajaan Mataram yang berusaha memanjat tembok benteng.

Demi mendapat “serangan aneh dan menjijikan” itu, para prajurit tempur Mataram kontan berloncatan dan lari lintang pukang. Dengan menutupi hidung, mereka menghindari Benteng Selatan seraya menggerutu marah: “O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!” Sebuah ungkapan bahasa Melayu kuno yang artinya “Dasar Setan, orang-orang Belanda itu berkelahi pakai (maaf) tahi!”

“Dari peristiwa itu, untuk pertama kali kata-kata Melayu tercatat dalam buku berbahasa Jerman,” kata Heuken.

Dari kejadian tersebut, banyak yang percaya, konon nama Betawi berasal dari seruan jijik para prajurit Mataram yakni (sekali lagi maaf) bahu tay alias bau tinja. Tentu saja soal ini dibantah keras oleh Ridwan Saidi. Sang tokoh Betawi tersebut menyatakan kata betawi sebenarnya berasal dari kata batavia yang dialihbahasakan dalam tulisan arab/melayu pegon saat itu sebagai ba ta wau ya (huruf arab/melayu pegon tak mengenal V).

“Aslinya sebenarnya batawi kemudian lama-lama menjadi betawi karena kecenderungan penggunaan huruf e di kalangan orang-orang Betawi,” tulis Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi.

Begitulah sejarah kata (etimologi) tentang beberapa istilah yang beredar di masyarakat kita. Mungkin bagi sebagian orang, ini tidak penting tapi percayalah sesuatu yang tidak penting pun pasti memiliki riwayatnya sendiri yang tentu saja memiliki kaitan signifikan dengan gerak manusia sepanjang zaman di dunia ini.

(Hendi Jo)

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles